Prolog

45 7 0
                                    

Aku meraih remote televisi, memencet tombol off dengan kasar. Kuhela napas dengan berat.

Sudah muak aku mendengarkan berita itu selama tiga hari berturut-turut sejak kecelakaan seorang aktor. Jasadnya ditemukan terbakar setelah mobil yang dia naiki masuk ke dalam jurang. Tidak dapat aku bayangkan bagaimana wajah tampannya yang selalu terlihat menawan di dalam drama berubah menjadi mayat yang tak bisa dikenali.

Hatiku miris memikirkan itu. Terlebih, aku juga menyukai dia. Aku selalu menonton drama-dramanya. Dan seperti kebanyakan wanita lainnya, aku tidak suka saat dia dalam adegan berciuman dengan lawan wanitanya. Walaupun aku bukan siapa-siapa dalam hidupnya (bahkan mungkin dia tidak pernah menyadari keberadaanku yang bagaikan debu untuknya), aku merasa marah, atau mungkin cemburu.

Tapi untunglah, disekolah tidak ada yang mengenalnya. Mengapa? Karena kebanyakan gadis disekolah menyukai idol-idol dari Negeri Ginseng, sementara aktor yang ku maksud berasal dari Negeri Tirai Bambu.

Kalian tahu, temanku Aby sampai mengira aku terlalu jatuh cinta dengan aktor ini sampai-sampai aku tidak tertarik pada pria yang menurut Aby tampan. Ya karena memang menurutku dia tidak tampan, biasa saja. Bukan karena aku terlalu mencintai atau mengidolakan aktor ini.

Dan, satu hal yang membuatku sedikit kecewa pada aktor ini. Ternyata dia adalah pengguna narkoba, dan saat itu dia menyangkal kalau dia tidak menggunakan narkoba jenis apapun. Awalnya aku tidak percaya, tapi bukti-bukti yang ada sangat memberatkan dirinya bersalah dan menjalani hukuman penjara selama lima bulan. Setelah bebas, sungguh miris nasibnya yang harus dikeluarkan dari perusahaan industri tempatnya bernaung, dan menemui sang pencipta.

Ah! Memikirkan itu, mataku terasa panas! Hentikan Iliana. Kau harus berpikir rasional. Dirimu hanya mengidolakan, bukan mencintai seperti yang Aby bilang. Lagipula dia sudah mati. Mungkin aku harus belajar melupakan aktor yang satu itu, dan mulai menyukai aktor lain.

Sementara aku sibuk berperang dengan pikiranku, suara telpon berdering.

"Halo, Ma." Aku menjawab telpon, dari Mama.

Terdengar suara dari seberang, "Sudah menyiapkan semua keperluan untuk masuk sekolah, An?"

Aku mengangguk, lupa kalau mama tidak bisa melihatnya. "Sudah, Ma. Baju-baju sudah Ana kemas sebelum besok pagi Ana berangkat kembali ke Asrama."

Terdengar suara helaan napas. "Maaf, ya Mama masukkan kamu di sekolah asrama."

"Tidak apa-apa. Iliana tahu kalau Mama punya cara terbaik mengurus Ana. Mama juga memasukkan Iliana sekolah asrama karena Mama sibuk bekerja, dan Mama tidak mau kalau Ana tidak ada yang mengurus, kan?"

Hening beberapa saat. Mama tidak langsung menjawabku. Entah apa yang dilakukannya sekarang, dan aku yakin mama pasti sedang duduk di depan laptopnya.

"Besok Ana berangkat sendiri tidak apa-apa, kan?" Tanya mama.

"Tidak apa-apa, Ma. Dari pada mama harus menyusul aku ke rumah nenek hanya untuk mengantar Ana kembali ke Asrama, lebih baik tidak usah, Ma." Aku sebenarnya ingin, sangat ingin malah, kalau Mama besok datang ke sini mengantar aku kembali ke sekolah asrama itu. Tapi sayangnya, aku kini tinggal di kota yang sejuk yang banyak terdapat dataran tinggi. Sementara Mama pasti sibuk bekerja di Ibukota.

"Rumah Kakek dan Nenek kamu rawat dengan baik, kan?" Mama bertanya, walaupun aku tahu itu hanya sekedar basa-basi.

"Aku bahkan tidak meninggalkan jejak debu sedikitpun."

Dari seberang sana, dapat kudengar kalau Mama sedang tertawa. Aku pun ikut tersenyum. Yang penting, Mama senang, maka aku merasa bahagia.

"Kamu betah sekolah disana?" Mama bertanya, nada suaranya sedikit berubah.

"Betah, Ma. Aku sudah satu semester disini, dan semuanya baik-baik saja. Teman-teman Ana baik dan sekolah membolehkan aku pulang ke rumah Nenek setiap hari libur." Yah, walaupun dirumah ini tidak ada siapa-siapa selain aku. Sebab kakek dan Nenek sudah meninggal dua tahun yang lalu.

"Mama mengirim sesuatu untuk kamu. Besok pagi-pagi datanglah ke stasiun dan temui orang suruhan Mama."

"Baik, Ma."

"Baiklah, jaga dirimu. Dah."

Sambungan telpon terputus.

==========

Aku tuh sebenernya gak mau nulis ini dulu sebelum cerita pertama selesai. Tapi yaaaa abis nya tangan aku gatel bgt huhuuuuu pen ngetik gitu, padahal mah udah gonta ganti alur prolognya:(

Semoga aja, aku ga terlalu sibuk nulis cerita ini, karna tujuan utama aku mau selesai in satu-satu dl cerita baru buat cerita baru.

Anyway, foto sampul chapternya itu kondisi dlm rmh neneknya Iliana

--------------------------------------------------

gadisvirgo

ILY, IlianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang