Bagian 29

9 1 0
                                    

Ruangan itu lengang.

Tamara merentangkan tangannya, menunjukkan sesuatu pada lembar kertas yang sejak tadi dia pegang.

SREET!

“Dasar gila!” Aku berseru, langsung memalingkan wajah melihat gambar vulgar terpampang jelas di kertas berukuran A4 itu. Gambar potret dari pasangan tanpa busana yang sedang melakukan hubungan intim.

“Jangan berpaling! Lihat sini, lihat!” Tamara membentak. Ia memegang daguku, memaksa agar aku menurut. “Lihat baik-baik siapa ini.”

Tidak mungkin. Aku menutup mulutku dengan telapak tangan. Dadaku perlahan-lahan mulai sesak seolah seluruh oksigen di ruangan ini tersedot habis. Wajahku terasa memanas. Aku menoleh menatap wajah orang-orang di sekelilingku.

Tamara menatapku nyalang. Dia jelas merasa marah. Putri kepala sekolah itu tersenyum miring. Tatapanku terakhir jatuh pada June.

Mataku mulai terasa memanas. Aku menggeleng, bergumam tidak jelas. “Tidak mungkin. Itu bohong.”

Aku kembali menatap June. Kumohon, tarik aku pergi dari sini. Demi apapun!

“Ini kenyataannya! Lihat, ibumu seorang pelacur! Wanita simpanan ayahku.” Tamara berteriak di depan wajahku. “Kamu tahu ini sudah berapa lama, hah? DUA TAHUN! Dan itu cukup untuk membuat ibuku depresi!”

“Mereka berdua bermain dengan sangat pintar. Kami tidak pernah bisa mendapatkan buktinya. Tapi kali ini, foto ini sudah menjadi bukti paling kuat yang tidak bisa dibantah.”

Aku hanya bisa menangis hingga terisak pelan. Semua ini membuat kepalaku terasa pening. Kakiku bahkan menjadi lemas seketika, jatuh terduduk di atas lantai yang dingin.

Tamara berjongkok di depanku, menunjuk kepalaku dan memberikan tekanan di sana. “Kamu dan ibumu adalah jalang!”

“AKU BENCI KALIAN!” Ia berteriak histeris.

Ini seperti rasa sakit yang menyerang secara bertubuh-tubi. Bisakah jadikan semua ini hanya mimpi buruk? Atau segera lewati dengan cepat.

Rania membantu Tamara yang masih di balut emosi untuk berdiri. Ia menyuruhnya segera pergi menenangkan pikirannya. Barusan adalah hal yang selama ini sangat ingin dia keluarkan dalam mulutnya.

Tamara pergi meninggalkan ruangan. Menyisakan lengang dengan suara isakan tangisku. Putri kepala sekolah itu kini sudah bersimpuh di depanku, berkata dengan nada sehalus mungkin seperti seorang ibu pada putrinya.

“Kenyataan itu memang pahit, Iliana. Kamu harus kuat, ya.” Ia berhenti sejenak.

Omong kosong apalagi ini. Aku menyeka pipi, meski air mata tetap terus mengalir seperti sungai kala musim hujan.

“Ah, June! Kenapa diam saja dari tadi?” ia seolah-olah baru menyadari keberadaan June di sana. “Ayo bantu teman kamu.”

Rania berdiri. “Omong-omong, Iliana. Kayaknya kamu tidak tahu apapun tentang teman kamu ini.” Ia duduk di kursi yang sebelumnya aku duduki.

Aku menoleh, melupakan sejenak kejadian beberapa menit lalu. “Maksudnya?” aku bertanya lirih.

“Hentikan!” June menggeram. Itu kalimat pertama yang baru ia keluarkan sejak tadi.

“June ini.. bahkan itu bukan nama aslinya. Satu-satunya kebenaran yang kamu tahu tentang dia mungkin hanya dia bukan terlahir di negara ini.” Rania sengaja menghentikan sejenak kalimatnya, menatap June dengan senyum licik terbaiknya. “Aku harus bilang kalau kamu adalah orang yang beruntung, Iliana. Di negara asalnya, temanmu ini adalah seorang aktor. Yah, di sini dia memang tidak begitu terkenal. Dia bukan juga aktor dengan bayaran termahal. Tapi dia membintangi banyak judul, penggemarnya tidak terhitung.

ILY, IlianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang