Selamat pagi! Update kali ini pagi-pagi karna aku masuk kerjanya sore >< (hfft 😔)
Selamat membaca semuanya!
==========
Banyak hal yang lolos dari perhatianku. Pertama, saat telpon dari rumah sakit mengatakan korban hanya menyimpan nomor teleponku di ponselnya. Kedua, mobil bekas tabrakan yang hancur di persimpangan kota adalah mobil pribadi dan juga tidak ada tanda-tanda mini bus yang mengangkut tim basket Ares di lokasi kecelakaan. Terakhir, jika memang mini bus Ares mengalami kecelakaan, harusnya ada guru kami yang dapat bertanggung jawab.
“Bagaimana seorang WNA dibiarkan berkeliaran sendiri tanpa identitas? Terlebih lagi dengan kondisi istimewanya.” Dokter paruh baya itu bertanya. Ia mengulurkan segelas air putih untukku. “Luka besar di bagian perutnya diakibatkan karena mobilnya terguling melewati pembatas jalan, membuat bagian mobil yang hancur menusuknya. Tangan kanannya juga mengalami keretakan dan ada beberapa luka yang perlu dijahit.”(Foto dari pin📌 visual dari kerusakan dalam mobilnya)
Aku mengucap terima kasih saat menerima gelas, melirik ranjang pasien. Jantungku terasa diremuk begitu saja mendengar seperti apa kondisi June.
Tiba-tiba seperti disadarkan oleh sesuatu, aku segera berdiri. “Dokter, aku harus pergi sebentar menemui seseorang.”
Tanpa menunggu ijinnya, aku langsung melenggang pergi. Menghentikan taxi di depan rumah sakit dan menyebut alamat tujuanku. Aku menggigit bibir. Jalanan di kota tidak pernah sepi. Selalu ramai. Meski begitu, yang terngiang di telingaku tetap saja suara alat medis yang terpasang ke tubuh Huang Junjie dan kondisinya yang sudah dijelaskan oleh dokter yang menanganinya.
Aku menyeka mataku yang tiada henti mengeluarkan air mata. Sebenci apa pun aku padanya kemarin atau hari ini, rasa yang pernah ada sebelumnya tetap masih sama. Tidak pernah berkurang.
Aku memohon kepada Tuhan. Aku mohon selamatkan dia. Kondisinya sudah sangat menyedihkan. Aku tidak mampu melihatnya seperti itu.
Begitu mobil berhenti, aku merangsek masuk ke dalam rumah sakit tujuanku setelah membayar taxi. Bagian resepsionis rumah sakit terlihat sepi.
“Ada yang bisa dibantu?” orang yang duduk di balik meja resepsionis langsung menyapa dengan ramah.
Aku terdiam. Sial sekali aku tidak tahu nama dokter yang saat itu ditemui June. “Saya mau bertemu seorang dokter.” Pada akhirnya aku hanya bisa menyebutkan ciri-cirinya saja.
Resepsionis itu mengangguk-angguk. “Mba sudah ada janji dengan dokter Dian?”
Oh, jadi namanya adalah dokter Dian.
Sebagai jawaban untuk resepsionis tersebut, aku menggeleng. “Tapi apa saya bisa bertemu dokter Dian sekarang? Ada hal penting.”
“Tidak bisa.” Resepsionis tampak menggeleng tegas. “Tapi kalau mba mau, hari ini bisa membuat janji temu untuk besok.”
Itu tidak mungkin. June sedang sekarat, mana bisa menunda pertemuan ini sampai besok.
“Bagaimana?” resepsionis itu memastikan.
“Kasih saya waktu 5 menit. Saya janji tidak akan lama.” Aku memohon, bersimpuh di depannya.
“Maaf, tapi saya harus mengikuti prosedur rumah sakit. Jika tidak ada janji temu untuk hari ini, berarti Anda tidak bisa menemui dokter Dian. Kalau Anda masih mau bertemu dengannya, maka buat janji temu untuk besok.” Itu pernyataan final. Aku tidak bisa membantahnya.
Pada akhirnya tidak ada yang bisa aku lakukan saat ini selain membuat janji temu dengan dokter Dian. Semoga June masih bisa bertahan.
Aku menghela napas pelan. Hari ini sakit sekaligus kecewa. Hanya sampai sini aku bisa berjuang untuk Huang Junjie? Tidak bisa aku bayangkan betapa sakitnya saat mobilnya terguling dan keluar dari jalan raya. Juga kondisinya saat ini. Meskipun tidak sadarkan diri, aku yakin dia tetap merasakan sakit itu. Jika tidak, bukankah harusnya dia sudah mampu menatap mataku saat ini? Dia pasti kecewa bila hal itu sampai terjadi. Apalagi dia pernah menitipkan pesan padaku yang ia sampaikan sebelum Rania dan Tamara memergoki kami di kamar asrama June.
“AWAS! KASIH JALAN!”
Entah teriakan itu berasal dari mana. Tapi ketika aku menoleh, tubuhku sudah ditabrak oleh sesuatu.
Aku mengaduh pelan, jatuh terduduk hingga menghantam deretan kursi tunggu.
“Oh, ya ampun. Bawa dia ke ruangan saya. Biar setelah ini dia diperiksa.” Kata seseorang.
Satu perawat perempuan menghampiriku, sementara yang lain melanjutkan pekerjaan mereka. Setelah dibantu berdiri, baru aku sadar yang menabrakku tadi adalah ranjang rumah sakit dengan seorang pasien berbaring di atasnya.
Aku di bawa ke salah satu ruangan dokter. Sekilas aku melihat tulisan di pintunya adalah Sp. Penyakit Dalam.
“Tunggu di sini sampai dokternya datang, ya.” Kata perawat sebelum pergi meninggalkan aku.
Ruangan ini tampak membosankan. Hanya ada kursi, meja, dan gambar organ dalam manusia yang di pajang di dinding. Aku melirik jam tangan. Saat itu aku sadar sudah menyia-nyiakan waktu setengah jam hanya duduk menunggu kedatangan dokter yang aku tidak tahu siapa dia yang telah menabrakku tadi.
Ketika aku bersiap untuk meninggalkan ruangan tersebut, tiba-tiba pintu terbuka. Muncul wajah perawat yang tadi mengantarku ke sini dengan sebuah kotak di tangannya. Ia menaruh kotak itu di meja, menoleh padaku. “Sebentar lagi dokternya datang.” Kemudian dia meninggalkan aku lagi di ruangan ini.
Baiklah aku akan kembali menunggu. Jika sampai sepuluh menit dia tidak datang juga, maka aku akan kembali. Aku harus menemani June dikondisi kritisnya. Bagaimana kalau nanti dia akan sadar dan ternyata hanya sendirian di sana?
Suara pintu terbuka, menyusul suara pria menyapaku.
Aku menoleh. Tapi dokter tersebut langsung menarik kursi dan duduk di hadapanku. “Maaf menunggu lama. Juga maaf sudah menabrak kamu tadi.” Ia dengan cekatan sudah mengambil alat dan sesuatu entah apa dari dalam kotak yang tadi dibawakan oleh perawat. “Ada yang lebam, luka, atau lainnya? Oh, astaga. Lihat di jidat kamu ada memar.”
Dokter itu sudah menyentuh keningku. Itu memar bekas tertimpa tas saat menyusup di mini bus. Bukan karena terjatuh tadi.
Refleks aku menepis dengan pelan tangan dokter tersebut. “Dokter Dian?”
Ia mengangguk. “Eh? Kenapa kamu menangis?”
Ia tampak kebingungan. Tapi aku saat ini bersyukur karena ditabrak tadi. “Dokter, aku.. aku butuh bantuan. Ingat June yang dulu pernah mendonor darahnya ke rumah sakit ini? Dia pernah mengajak aku ke sini. Aku dapat pesan darinya, kalau terjadi sesuatu padanya, aku harus menemui Anda. Bisakah Anda menyelamatkan dia?”Aku menjelaskan dengan singkat kondisi June saat ini, terbaring sekarat di rumah sakit lain.
“Astaga! Malang sekali nasibnya.” Dokter Dian langsung berdiri, mengambil sesuatu dari dalam laci mejanya. “Kamu tunggu di sini.”
Menunggu lagi sendirian. Waktu setengah jam berjalan lagi seperti merangkak. Sementara aku menunggu hanya menatap pada tembok polos. Aku sudah tidak sabar untuk melihat manik mata June yang menatapku lagi.
Aku menggigit jari. Berdiri di depan pintu dengan gusar. Berapa lama lagi aku harus berdiam diri di sini?
“Ayo.” Dokter Dian muncul dari balik pintu. Ia tampak tergesa.
Aku langsung berjalan di belakangnya dengan langkah lebar. Sesuatu yang dibawa dokter Dian menarikku untuk selalu meliriknya. Sebuah tas berbentuk kubus dengan tali selempang.
Kami menuju rumah sakit tempat June saat ini dirawat menggunakan mobil dokter Dian. Tepat setelah aku memasang sabuk pengaman, mobil berjalan di atas aspal tipis.
Semoga June segera baik-baik saja.==========
KAMU SEDANG MEMBACA
ILY, Iliana
Romance(vote dari kalian buat aku semangat menulis) Kenyataannya, dia berbohong. Tapi aku tahu itu bukan salahnya. Karena nyatanya, aku hanyalah salah satu figuran dalam hidupnya.~ Namaku, Iliana. Aku sama seperti kalian yang menggemari seseorang terkenal...