Bagian 35

3 1 0
                                    

Pagi-pagi sekali, halaman rumah peninggalan nenek sudah lengang. Mobil Mama tidak ada di sana. Ia telah pergi tanpa suara. Sudahlah biarkan saja, aku tahu kondisi mama juga kacau. Mungkin perasaannya saat ini lebih buruk daripada aku.

Aku menghela napas pelan, menciptakan embun di permukaan jendela kamar. Berbalik, melihat ponsel yang belum aku sentuh hampir 24 jam. Ada banyak pesan yang dikirim oleh Ares, juga beberapa dari Aby yang menanyakan kabarku dan berita terkini di sekolah mengenai guru-guru yang menanyakan di mana aku berada.

Ares :

<Kemarin>

Sudah sampai?
Maaf aku tidak bilang, sebenarnya June juga ikut pertandingan basket tapi dia menyusul karena tahu kamu ikut pergi bersama kami.

Iliana, apa June menemui kamu? Pertandingan sudah mau mulai tapi dia belum datang.

Hei, balas pesannya.

Astaga, kalian berdua benar-benar membuat aku repot.

<Hari ini>

Kami masuk babak final besok. Doakan semoga kami menang.
Jangan lupa balas pesannya, kalian berdua sudah buat pikiranku tidak tenang.

Aku mengetik balasan singkat. Sekarang saatnya aku bersiap-siap menuju rumah sakit.

Tepat pukul delapan, aku sudah menginjakkan kaki di lorong rumah sakit. Menaiki lift pasien menuju lantai tiga. Avan masih setia duduk di samping kasur June begitu aku membuka pintu. Aku curiga sejak semalam dia tidak bergeser walau hanya semili meter dari tempatnya.

“Pagi, Om Avan.” Aku meletakkan bekal yang aku bawa di atas meja. “Om sudah sarapan? Aku bawa makanan, ayo sarapan.”

Ia menoleh, tampak hendak beranjak dari tempatnya. Tapi urung saat dering ponselnya lebih dulu berbunyi.

“Bagaimana hasil penyelidikannya?” ia langsung bertanya tanpa basa-basi pada lawan bicaranya di seberang.

Aku menatap Avan yang berdiam diri cukup lama mendengarkan penjelasan dari lawan bicaranya, sambil tanganku menyiapkan makanan yang aku bawa di atas meja.

Beberapa menit kemudian, ia mematikan telpon tanpa mengucapkan sepatah kata. Avan langsung berdiri dan menyambar jasnya.

“Aku harus pergi.” Avan sudah akan menutup pintu sebelum kembali menatap ranjang June sejenak. “Jangan tinggalkan ruangan ini sampai aku kembali.”

Aku mengangguk samar. Menatap kepergian Avan padahal terhalang pintu ruangan. Sepertinya pagi ini hanya aku yang akan memakan masakanku sendiri. Semoga rasanya tidak aneh.

Aku membulatkan mata. Air! Di mana air? Aku rusuh membuka tas. Jika petugas pemantau CCTV melihatku, mungkin dia akan bertanya keheranan dalam hati, padahal sendirian di ruangan tapi rusuh. Padahal lidahku terasa seperti disiksa, aku langsung meneguk air hingga sisa setengah botol. Sudah asin, terlalu pedas lagi. Ini akibat tadi terlalu percaya diri pada takaran tutorial memasak menunya.

Rasanya sudah tidak ada selera makan lagi. Kotak bekal sarapan aku rapikan kembali, membiarkannya tetap membisu di atas meja. Untung saja Avan tidak jadi memakannya. Aku yakin akan menanggung malu seumur hidup karena kebodohan diri sendiri.

Aku mengambil handuk kecil bersih dan membasuh dengan air di wastafel. Mendekati ranjang, duduk di bekas kursi Avan. Mengusap pelan handuk itu di wajah, juga pada lengan June.

Matanya masih terpejam. Ia tampak seperti sedang tertidur pulas.

“Bagaimana kabar kamu semalam?” aku beralih mengusap bagian lehernya. “Apa semalam mimpi indah?”

Suara bip bip alat medis yang menyahut. Memang sudah bunyi sejak dipasangkan di tubuh June.

“Ayo, bangun. Aku harus minta maaf ke kamu.”

Bip bip. Anggap saja suara alat medisnya seperti itu. (Penulis belum tahu alat/mesin-mesin medis suaranya kayak gimana aja)

Kini aku mengusap sela-sela jari tangannya. “Aku punya banyak pertanyaan dalam isi kepalaku, June.”

Bip bip.

“Terutama tentang bagaimana kisah hidup kamu seperti drama yang biasa kamu perankan? Seolah kamu dihidupkan kembali dari kematian hingga mengubah identitas. Bagaimana orang luar seperti kamu bisa punya kerabat dari negara ini tanpa ada percampuran darah yang jelas dari kalian berdua?”

Bip bip.

Beberapa hak menyerang hatiku dengan perasaan sedih. Sekelebat bayangan tentang mama, masalah-masalah yang akhir-akhir ini sedang aku hadapi. Juga rasa bersalah yang aku terima karena sikapku padanya. Perasaanku yang dalam pada June, yang aku sendiri masih menyimpulkannya sebagai perasaan suka. Entah kepada June yang selalu baik padaku, atau Huang Junjie yang memang sejak karirnya sebagai aktor sudah memikatku. Perasaan ini.. bagaimana jika ia sampai terlalu jauh?

Sudut mataku sudah terasa panas. Aku tidak mampu membendung air mata yang memburamkan penglihatanku. “Tapi saat kamu bangun nanti, aku tidak akan bertanya. Harusnya aku sadar bisa sedekat ini saja adalah sebuah keinginan yang tidak pernah aku mimpikan akan terjadi.”

Hanya suara alat medis yang menjawab keheningan memelukku di ruangan ini. Bergeser ke ujung untuk melanjutkan mengelap kaki June. “Sayang sekali semua fakta itu datang disaat bersamaan dengan masalah yang aku hadapi.”

Bip bip.

“June.. kalau kamu sudah bangun apa aku masih bisa meminta pelukan seperti yang pernah kamu berikan?”

Meskipun terlihat seolah sia-sia berbicara sendiri pada dia yang tidak sadarkan diri, tapi aku ingin terus melakukannya hingga June membuka matanya, atau sampai aku tidak mampu lagi untuk bicara. Aku berhenti hanya untuk menyeka air mata atau sekedar mengusap wajahku yang tampak kacau.

Aku berharap dia segera bangun. Aku mengucap dalam keheningan sambil mendekap tangannya. Menarik tangan yang dingin itu untuk menempel di pipiku.

Sudah lama waktu yang aku habiskan dalam posisi seperti itu hingga membuat tangannya basah karena tangisku.

“Argh..”

Secara naluriah aku langsung menoleh. Barusan seperti suara mengerang. Apakah aku salah dengar? Tapi June masih tetap bergeming di atas kasurnya. Ruangan itu tetap diiringi oleh suara alat kesehatan. Sepertinya aku terlalu sedih sampai berhalusinasi.

Ketika aku sampai tidak sadar saat sebuah tangan menggenggam tanganku dengan sempurna, hingga sebuah suara bertanya padaku. “Kalau aku bangun, apa kita bisa berteman lagi seperti sebelumnya?”

Mata itu masih terpejam, meskipun ia mengulum senyum di bibirnya.

“Kamu bangun dulu, baru nanti kita bicarakan lagi.” Aku mengusap air mata, tertawa karena aku tidak mampu menahan rasa bahagia saat ini. “Aku harus mengabari Om Avan dulu.”

Sayangnya kebahagiaan itu hanya sementara. Saat Ares tiba ke rumah sakit nanti, di situlah ia datang dengan membawa serta masalah baru untukku.

==========

Hello!

Ketemu lagi sama aku <3 udah lama ya, ngga update beberapa bulan terakhir? Tapi update bab ini, aku sendiri merasa kurang puas, tp aku ngga bisa perbaiki jadi lebih memuaskan😭 beberapa hal di dunia nyata aku mempengaruhi mood menulis. Jadi aku ngerasa aku ngga bisa menulis dengan maksimal, lebih sering writer block. Tapi gapapa yaa, aku masih tetep usahain belajar lebih baik lagi dan lebih banyak membaca lagi.

Semangat buat diriku!!

Ada yang mau liat tampang om avan??

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ILY, IlianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang