Bagian 28

9 1 0
                                    


Sejak hari itu, aku menemukan alasan kuat untuk membencinya tanpa rasa bersalah. Tidak ada lagi yang perlu aku ingat tentang kebaikannya. Rasa sakit yang dia berikan lebih besar dari apapun yang pernah ia berikan padaku.

Lalu kenapa kamu masih menyimpan semua barang pemberian June? Coba jelaskan mengapa? Itulah pertanyaan yang selalu kuberikan kepada diriku sendiri.

Jawabannya tidak pernah pasti. Aku tidak mampu membuangnya, tapi juga tidak ingin melihatnya.

Rasa menyengat menyerang kulitku. Itu menyadarkan diriku dari lamunan. Ini sudah jam berapa? Aku melirik jam di lengan. Pelajaran bahasa habis satu jam lagi.

Ya, ya. Aku salah telah membolos.

Sinar matahari kembali menyerang kulitku. Aku memutuskan pindah duduk di bawah pohon. Pohon yang sama pada saat aku dan dia duduk bersama sehari sebelum kejadian itu.

Ponselku bergetar, pesan masuk dari Aby.

Aby : Gurunya sudah keluar. Sekarang jam kosong.

Demi membaca pesan tersebut, aku segera bangun. Saatnya kembali ke kelas!

Dasar sial nasibku. Baru saja memasuki gerbang sekolah, aku langsung berpapasan dengan Tamara dan Rania. Paket lengkap. Dan mereka juga sudah menangkap kedatanganku, mereka menungguku. Sial, aku tidak bisa menghindar.

“Selamat pagi, Iliana.”

Mereka tersenyum. Meskipun itu bukan berarti tanda baik.

Jangan dihiraukan, Iliana. Mereka tidak penting. Teruslah berjalan.

Namun Tamara mencekal pergelangan lenganku, membuatku terpaksa berhenti.

“Seingatku, aku tidak punya hutang ke kalian.” Aku menukas, menarik lenganku sebelum Tamara menancapkan kukunya yang seperti nenek sihir untuk kedua kalinya.

“Iliana sekarang jadi tukang bolos, Rania.” Perempuan gila itu tidak menghiraukan kata-kataku sebelumnya, ia menoleh menatap kawannya yang balas menatap dengan ekspresi mengejek yang jelas-jelas mereka tujuan padaku.

“Dia bolos jam pelajaran, June juga bolos.” Rania menimpali.

Aku mendengus. Sekarang sepertinya dia tidak perlu repot-repot lagi akting berpura-pura baik padaku.

“Jangan-jangan mereka ketemuan, terus melakukan itu.” Tamara seolah berbisik pada Rania, namun tidak dengan suaranya yang justru sengaja dia keraskan agar aku mendengarnya.

Mereka diam sejenak. Entah apa yang ada dipikiran keduanya. Sebelum Rania berkata, “Ah, ini tidak seru! Lihat dia diam saja.”

“Mungkin dia memang melakukannya demi mengemis perhatian dari June.”

Aku menyilangkan tangan, menatap mereka berdua bergantian. “Aku baru tahu ternyata kalian berdua punya terlalu banyak waktu sampai mengurus urusan orang lain.” Tatapanku kemudian jatuh pada Tamara. "Lihat ini, putri walikota ternyata bermulut sampah."

Siang terik ini bukan hanya membuat tubuh terasa panas, berkeringat. Tapi juga membuat suasana hati ikut panas. Itu membuatku mendapatkan hadiah tamparan di pipi dari Tamara. Terasa perih menyengat.

Aku meringis, memegang pipi kiri.

Belum puas sampai disitu, Tamara meludah. Tepat mengenai almamater seragamku. “Dasar anak jalang! Kamu dan ibumu, kalian berdua sama-sama jalang!”

Demi mendengar ia mengatakan hal buruk tentang ibuku, adalah hal yang sangat menyulut emosi. “Jangan menghina ibuku!”

Tanganku sudah meraih kerah seragam Tamara bahkan sebelum aku sadar ingin melakukannya. “Apa masalah kalian?” aku menatap mereka berdua.

ILY, IlianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang