Bagian 31

6 1 0
                                    


Debu beterbangan di hadapan wajahku. Kakiku seketika diam membantu di ambang pintu. Dalam benakku masih terekam jelas bayangan June dengan segala aktivitasnya. Di sofa, ada bekas jejak hangat tubuhnya yang berjam-jam hanya meresahkan dirinya. Sidik jarinya juga tertinggal pada tombol remot televisi. Suara pintu kamar yang terbuka, kemudian sosok June muncul dari baliknya. Juga dapurku yang terasa lebih hidup saat June sedang menyiapkan makanan untuk kami berdua.

Ia hanya dua minggu tinggal, tapi rumah ini seolah begitu melekat dengannya.

Aku melangkah gontai. Melempar ransel sembarang dan menjatuhkan pantatku diatas sofa. Aku menghela napas pelan. Bagiku sekarang sangat sulit untuk menerima kenyataan. June yang ternyata ialah Huang Junjie, juga Mama yang menjadi simpanan walikota. Terlebih lagi, ia adalah Ayahnya Tamara.

Mama, aku harus tahu apa motifnya. Ia wanita yang baik, tidak mungkin begitu saja ia menyakiti perasaan perempuan lain dengan cara yang keji.

Aku mengambil ponsel, mencoba menghubungi Mama.

Satu kali nada dering.

Dua kali.

Dering ketiga.

Tidak diangkat. Nomornya sibuk. Kira-kira apa yang saat ini sedang dia lakukan? Bekerja, atau sedang bersama Ayah Tamara?

Iliana : ma, kalau sudah tidak sibuk telpon aku, ya.

Semoga Mama langsung menghubungiku setelah ini membaca pesan ini. Untuk sekarang tidak banyak yang bisa aku lakukan selain membersihkan diri dan debu yang berada di rumah ini.

Belum sempat aku melakukan apa yang ku pikirkan, ponsel milikku berbunyi. Aku segera membalikkan badan dan mengangkatnya.

Aku menghela napas pelan. Yang menelpon bukan Mama, tapi nomor tidak dikenal. Haruskah aku angkat?

“Halo, selamat pagi.” Suara di seberang langsung menyapa, seorang wanita. “Apa benar ini Nona Iliana?”

“Ya, ini siapa?”

“Saya dari pihak rumah sakit. Seorang korban kecalakaan di Persimpangan Kota tanpa identitas hanya membawa ponsel miliknya yang cuma menyimpan kontak anda.” Jelas suara perempuan tersebut.

Aku menutup mulutku. Bukankah Ares harus melewati persimpangan itu menuju lapangan kota? Persimpangan itu persis dekat rumah sakit yang menghubungiku.

“Nona?” panggilan itu menyadarkan aku dari segala pikiran buruk. “Bisakah kamu cepat ke sini? Pasien dalam keadaan kritis. Dia kehabisan banyak darah.”

*****

Perasaanku campur aduk selama perjalanan. Ditambah macetnya jalanan kota, itu memperparah keadaan. Kegelisahan tidak mampu aku tampung yang akhirnya membuatku hanya bisa menangis terisak di dalam mobil.

“Lihat, Pak. Sudah lampu hijau,” aku menunjuk ke depan.

Mobil melaju dengan cepat di antara hiruk-pikuk kesibukan warga kota. Air mataku tidak berhenti mengalir, juga memanjatkan doa agar kondisi Ares baik-baik saja. Semua kejadian ini sampai membuatku lupa untuk membawa ponsel, untung saja dompet masih ingat untuk dibawa.

“Di depan kayaknya macet total, Neng.” Laju mobil melambat.

Dalam jarak 700 meter, kemacetan ini bersumber dari persimpangan kota. Tujuanku sudah dekat! Gedung rumah sakit itu ada di seberangnya.

“Saya berhenti di sini, Pak. Terimakasih.” Aku memberikan uang pas.

Panas. Tapi aku tetap berlari di trotoar jalan. Suara klakson, orang-orang yang berteriak, hingga petugas dinas lapangan tidak terdengar. Tapi itu semua tidak mengangguku. Aku berhenti sejenak untuk mengambil napas, menyeka keringat yang bercampur air mata di wajahku.

ILY, IlianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang