Bagian 15

11 2 0
                                    


Sejak turun dari bus, kami belum menemukan Aby ataupun Ares. Kemungkinan bus mereka masih dalam perjalanan. Para guru sudah sibuk menyuruh para siswanya duduk di kursi yang disediakan. Aku dan June melewati meja penerima tamu, gadis yang duduk di balik meja memberikan kami kotak snack dan botol air mineral. Tiba di kursi penonton, menatap panggung dan mendengarkan sambutan dari kepala desa setempat dan kami dikenalkan sedikit dengan budaya yang ada di sana. Tetapi ini bahkan sudah lebih dari setengah jam ia bicara, namun sepertinya kepala desa di depan sana masih enggan untuk turun.

Aku menguap, kemudian menghabiskan setengah botol air mineral di tanganku.

“Masih mengantuk?” Tanya June.

Kepalaku menoleh sejenak, “Sejujurnya, orang di depan sana mulai membosankan.”

June menepuk pundaknya, “Kalau begitu tidur saja.”

Aku menatapnya selama beberapa detik sebelum berkata, “Jangan harap!”

June menanggapinya dengan tertawa pelan.

Di panggung, akhirnya sambutan kepala desa setempat berakhir dan digantikan dengan tarian budaya khas setempat. Setelah serangkaian acara, aku baru sadar sejak tadi hanya ada siswa di sekeliling kami. Dimana Rania dan para guru? Tamara dan teman-temannya juga tidak terlihat. Namun tempat ini luas sekali. Mungkin saja Tamara ada di barisan belakang dan lebih memilih untuk mengobrol dengan teman-temannya dari pada menikmati acara.

Tepat satu jam sebelum jam makan siang, acara tersebut selesai. Para guru kembali muncul entah darimana, mulai berseru-seru agar kami mengikuti mereka dan tidak berpencar.

“Hai, June, Ana!” Aby berseru. Bersama Ares, mereka mendekat.

“Hai, kalian darimana saja?” June bertanya.

“Di depan sudah penuh, kami kedapatan di kursi belakang,” Ares menjawab.

Kami berjalan bersama dengan arus siwa yang lain. Setelah menyebrang jalan raya dan melewati beberapa rumah warga, ternyata para guru mengiring kami menuju rumah makan. Tempat itu cukup luas untuk menampung ribuan siswa. Jika di desa pedalaman seperti ini ada terdapat rumah makan yang begitu besar, pasti tidak jauh dari sini ada lokasi wisata. Jika tidak, siapa lagi yang mau membeli makan disini?

Ares mengajak kami duduk di dekat jendela, katanya supaya bisa melihat pemandangan di luar. Sementara di luar sana terdapat sawah berhektar-hektar luasnya, tampak hijau dengan latar bukit dan padi tersebut tampak sudah setinggi lutut orang dewasa dengan bunga yang sudah tampak. Mungkin bulan depan baru akan di panen. Pemandangan yang lumayan juga.

Begitu para siswa masuk, puluhan pelayan dengan nampan di tangan mulai menyebar ke seluruh meja yang tersedia, menaruh makanan yang sepertinya sudah di pesan oleh pihak sekolah--mungkin tadi pagi. Saat pelayan Wanita datang dan selesai menaruh makanan di meja. Karena para guru terus menyuruh kami agar bergegas, sebisa mungkin kami menghabiskan makanan dengan cepat.

Pukul satu siang, kami sudah kembali berkumpul di lapangan tempat acara tadi. Kepala desa akan mengajak kami berkeliling kebun sawit yang dikelola pemerintah dan di bantu oleh masyarakat setempat. Kerumunan siswa mulai berjalan mengikuti puluhan warga yang ditunjuk sebagai pemandu kami, mulai memasuki hutan sawit. Tanah yang kami pijak terasa lembab setelah kami sudah lumayan jauh masuk ke dalam hutan sawit, matahari juga tampak tidak bisa menerangi seluruh hutan ini hingga kelembaban hutan di barengi dengan keremangan.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ILY, IlianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang