Bagian 34

6 1 0
                                    

Happy Reading!

==========

“Aku rasa, mungkin satu persatu tirai sudah harusnya terbuka.” Lengang sejenak.

Aku menelan ludah. Seharusnya, hanya dengan aku tahu bahwa dia adalah Huang Junjie, segala hal tentangnya akan terpampang begitu saja di hadapanku. Sederhana seperti, hanya tinggal mengetik namanya di internet, maka semua yang pernah diliput tentang dirinya akan muncul.

Namun kenyataan yang ada tidak sesederhana itu sepertinya. Seperti kejadian hari ini, saat aku baru tahu jika ternyata golongan darahnya begitu spesial. Yang belakangan baru aku sadari, tidak ada data dirinya yang sedetail itu di internet. Apalagi soal orangtua dan keluarganya. Contoh kecilnya adalah, siapa sangka seorang aktor Tiongkok memiliki saudara di sini, yang bahkan tidak memiliki kemiripan sama sekali.

Yang aku ingat, Huang Junjie. Dia lahir di Kota Chongqing, China pada 9 Juli tahun 1998. Astaga! Dia bahkan lebih tua beberapa tahun dariku.

Huang Junjie adalah murid dari Akademi Film Beijing. Memulai debutnya di tahun 2016, dan namanya mulai besar di tahun 2017. Tapi kariernya tidak bertahan lama karena pada tahun 2021 ia mengumumkan hiatus disebabkan skandal ‘berselingkuh’~ itu yang dimuat oleh media (pernyataan diatas adalah fakta yang memang dimuat di mbah Google). Namun setelah setahun akhirnya dia kembali menyapa penggemar. Tapi itu juga tidak berlangsung lama. Dia kembali terjerat skandal lainnya, berujung dengan berita kematiannya (yang ini karangan aku demi berlangsungnya jalan cerita).

“Tapi untuk saat ini, aku tidak bisa bicara banyak. Kepala Sekolah memang pamannya, tapi bukan saudara kandung dari ayah maupun ibunya. Juga bukan saudara tiri,” lanjut Avan. “Besok-besok, kamu bisa tanyakan langsung dengan dia kalau sudah siuman.”

Bagiku, pernyataan itu sama membingungkannya. Tirai mana yang dia buka? Sepertinya di balik tirai fakta ini, masih ada tirai lagi.

“Sebaiknya kamu pulang sekarang. Tidak ada lagi yang bisa kamu lakukan. Biar aku menunggu di sini, baru besok pagi giliran kamu yang menunggu,” saran Avan.

Suasana hening.

Aku menangkap sinyal Avan yang seolah tidak sedang ingin diganggu. Maka setelah sekali lagi menatap wajah yang terbaring lemah di atas kasur, memastikan ia benar-benar tidak mendadak membuka matanya. Aku berbalik. Pulang. Ke rumah peninggalan nenek, beristirahat sampai bertemu matahari esok pagi.

*****

Namun kenyataan yang terjadi tidak seperti yang aku pikirkan. Di halaman rumah terlihat mobil Mama terparkir. Aku sengaja membuka gerbang sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara berderit engsel yang sedikit berkarat.

Pintu depan terbuka lebar, tapi Mama tidak ada.

Aku mendongak. Mama pasti di dalam kamarnya. Setiap langkah yang aku ambil di anak tangga seolah menambah tekanan di dadaku. Aku sempat berpikir, apa yang akan aku katakan pada Mama mengenai masalahnya dengan keluarga Tamara. Bagaimana reaksi Mama nanti?

Hingga tubuhku mematung saat kami bersihadap. Mama keluar dari kamarnya, baru saja menutup pintu dan berbalik untuk menatap wajahku.

“Ma?” aku mencicit pelan.

Ia sepertinya tidak tahu jika aku berada di rumah ini. Mama terlihat sedikit tersentak, tapi detik berikutnya ia tersenyum. Wajahnya terlihat kusut seperti ada beban dalam pikirannya. Apakah itu pekerjaan, atau soal yang hendak aku tanyakan. Entahlah.

“Kamu di sini? Sedang libur sekolah?” Mama mendekat, hendak menciumku.

Aku melangkah mundur, yang membuat Mama tampak kebingungan. Sebelumnya, aku tidak pernah menolak sentuhan apa pun darinya sampai hari ini.

“Ma, apa ada sesuatu yang pernah mama sembunyikan dari aku?”

Mama terdiam, kerutan di dahinya semakin jelas.

“Mama, aku tahu Mama pernah..” Aku menyeka air mata, rasanya tidak kuat untuk terus bicara. “Tidur bersama papanya Tamara.”

Tangisku pecah. Entah merasa kecewa, atau sedih karena dibohongi. Tapi ini sungguh menyakitkan. Sebilah pisau tajam seolah menyayat seluruh tubuhku.

Jika menuruti emosi, mungkin sudah sejak tadi aku berteriak dan bertanya “Kenapa mama setega itu!? Apa Mama tidak tahu sudah menyakiti hati perempuan lain!?

“Bagaimana kamu tahu?”

Lihat? Mama bahkan tidak berusaha menyangkal. Kalimat tadi sudah menjawab semuanya.

“Kenapa, Ma? Mama cinta sama papa Tamara? Atau jangan bilang alasannya karena uang? Biaya sekolah dan bulanan Ana terlalu mahal? Kalau iya, aku bersedia pindah ke sekolah negeri seperti kebanyakan orang di kampung ini. Tidak usah khawatir, aku sudah besar sekarang, Ma. Aku bisa menjaga diriku sendiri.” Aku berhenti, menyeka air mata di pipi.

Mama menggeleng, suaranya parau menahan tangis. “Tidak. Mama melakukannya bukan demi uang atau cinta. Ini memalukan. Kamu pantas untuk kecewa.”

“Papa Tamara yang memaksa Mama?” membayangkan itu membuat aku marah. Kalau iya, maka bukan Mama-lah yang salah. Itu semua karena paksaan papa Tamara.

Tapi ternyata Mama menggeleng lagi. “Mama tidak tahan. Bertahun-tahun hidup tanpa Ayah kamu, tanpa sentuhannya. Ternyata mama merindukan sentuhan-sentuhan itu..” mama terisak kencang, menyadari kesalahannya.

“Dua tahun lalu, saat ayahnya Tamara ditunjuk sebagai komisaris oleh orangtuanya sekaligus mewarisi perusahaan properti tempat mama bekerja. Itu adalah hari pertama kami bertemu. Tahun itu ayahnya Tamara hampir setiap hari berada di kantor. Mama tidak pernah menduga kalau dia tertarik pada Mama. Dia selalu bersikap baik, kadang menggoda Mama, mengajak Mama bertemu di luar, atau mengantar Mama pulang. Dan ternyata tidak butuh waktu lama bagi kita berdua terjerumus dalam kesalahan ini.”

Aku hanya mematung, menatap bahu Mama yang bergetar. Berusaha mencari kebohongan dalam setiap kalimatnya yang barusan keluar. Tapi ternyata aku melihat kekecewaan di wajahnya. Kecewa terhadap dirinya sendiri.

“Mama tahu dia sudah berkeluarga, dan memiliki anak gadis sepantaran kamu. Itu yang membuat mama mendaftarkan kamu di sekolah asrama. Bukan hanya karena sekolah itu memang bagus dan mempunyai lulusan terbaik, sekolah itu juga tidak mudah diketahui oleh publik. Dan mama.. mama mau menjauhkan kamu dari hubungan itu,” Mama mengusap ujung matanya. “Tapi siapa sangka, Tamara juga sekolah di sana. Ternyata takdir punya caranya sendiri untuk menghukum mama atas segala kejahatan yang mama lakukan.”

Apa yang mama bilang barusan?

Aku melangkah mundur, kakiku mendadak  bertenaga.

Ternyata benar. Semua ini nyata. Bahkan mama tega tetap menjalani hubungan ini meskipun dia tahu ayah Tamara mempunyai keluarga. Mama juga tahu bagaimana risikonya, hingga dia menjauhkan aku dari publik. Itulah tujuannya. Dengan status papa Tamara yang seorang Walikota, jika berita ini bocor, maka tidak menutup kemungkinan seluruh penjuru negeri ini akan tahu.

“Mama minta maaf. Mama sungguh menyesal sekali. Kamu pasti kecewa memiliki orang tua seperti-“ mama terus meracau. Terisak.

“Cukup, ma. Kalau mama menyesal, maka hentikan semuanya,” aku memotong, berusaha berkata dengan tegas. Mama harus sadar, mama harus berhenti. “Banyak orang yang kalian sakiti. Termasuk aku.”

Mama hanya diam. Mengusap ingusnya.

Ini tampak menyedihkan. Tidak pernah sekalipun aku membayangkan hari ini terjadi. Aku seorang anak yang sedang berusaha bicara kepada orangtuanya tentang hal baik dan hal buruk, yang seharusnya itu dilakukan dengan sebaliknya.

Aku mengembuskan napas pelan, meraih kedua tangan mama. Berusaha bicara lebih baik. “Iya, ma. Aku kecewa. Tapi mama tetaplah mama, aku akan selalu hormat. Sekarang aku cuma punya mama, aku tidak membenci mama. Jadi aku mohon, mama berhenti dengan Papa Tamara.”

Tangis mama kembali pecah. Aku memeluk tubuhnya. Hidupku kacau. Jangan tanyakan lagi soal apa yang aku rasakan saat ini.

Kali ini aku berharap, semoga besok hariku sedikit lebih baik. Semoga harapanku yang satu ini tidak akan mengecewakan aku seperti harapan yang lainnya.

Semoga.

==========

ILY, IlianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang