Bagian 23

6 1 0
                                    

Bosen gasih alur yang lambat?
Kalo iya, di bab ini kita mulai klimaks beratnya🔥

==========


Lagi, aku hanya bisa mematung melihat pemandangan di depan. Pelukan haru orangtua dengan anaknya yang harus dipisahkan oleh tembok sekolah asrama kami.

Aku melirik layar ponselku yang kosong, Mama bahkan belum memberi kabar.

“Ayo, jangan bengong,” June menyikutku dari belakang.

Kami berjalan diatas halaman rumput hijau menuju asrama. Kegiatan pertama kami setelah libur panjang akan dimulai nanti malam, pada saat makan. Biasanya akan ada penyambutan dari kepala sekolah, tapi entahlah nanti malam akan seperti apa. Siapa tahu kepala sekolah kami masih sibuk dengan bisnisnya di luar negeri.

“Sudah ada kabar?” June tiba-tiba bertanya, meski tatapannya tetap lurus ke depan, tidak memedulikan tatapan beberapa orangtua dan siswa yang mengagumi visualnya.

Aku menoleh, sedikit mendongak menatapnya. “Kabar apa?”

“Dari Mama kamu.”

Aku menggeleng. Jangankan kabar, pesan yang aku kirim saja belum ada satupun yang dia balas.

Ketika aku merasakan berat di bahuku, lengan June yang ternyata mendarat disana. Ia mengelus pelan. “Jangan terlalu dipikirkan. Mama kamu orang yang sibuk.”

Ya, June benar. Tidak perlu dipikirkan. Mama sudah biasa seperti ini, selalu sibuk dengan pekerjaan. Ingat Iliana, selagi Mama masih sehat pasti kami akan bertemu lagi.

Langkah kami terhenti. Kami sudah berada di depan gerbang asrama murid perempuan. Sialnya aku baru sadar lengan June masih di bahuku. Sejak tadi dia merangkul kami di sepanjang jalan.

Tiba-tiba aku merasakan suasana horor, membuatku secara naluriah melihat sekeliling.

Aku menghela napas lega.

“Ada apa?” June menurunkan tangannya.

“Tidak ada.” Aku menggeleng, berbalik dan mengucapkan selamat tinggal padanya.

Syukurlah di area sekitar sini sepi. Itu yang membuat perasaanku lega. Sudah cukup sulit rasanya hidupku setiap kali dekat-dekat dengan June. Pria itu membuat aku dimusuhi oleh seluruh murid perempuan di asrama!

*****

Sambutan kepala sekolah diakhiri dengan tepuk tangan oleh seluruh hadirin yang berada di aula makan saat ini. Wajah lelahnya tampak tersenyum lebar. Ia duduk di kursi kebesarannya, memulai makan. Seketika seluruh ruangan berisik oleh dentingan suara sendok dan garpu yang beradu di atas piring.

Seluruh warga sekolah tahu kalau beliau baru saja sampai di negara ini siang tadi. Ia bahkan baru tiba di sekolah ketika hari sudah sore. Kemudian ia masih harus mengurus kembali perusahaannya yang sedang bermasalah. Singkatnya, besok pagi-pagi sekali ia sudah harus kembali ke bandara.

“Kira-kira berapa banyak perusahaan yang dimiliki kepala sekolah?” Aby menyikut, berbisik di telingaku.

Sebagai jawaban, aku mengangkat bahu. “Tidak tahu. Tanya saja ke Rania.”

ILY, IlianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang