"Habis bertemu siapa kamu?"
Alia mengangkat kedua alis sambil menggigit peyek kacang ditangannya. Kedua bahunya ia delikan sambil bangun dari kursi.
"AL!"
Langkah Alia menuju rak piring terhenti, tubuhnya berbalik menghadap om Erwin. Tangannya terangkat, jarinya menjentik dan menembak menuju om Erwin.
"That's actually how he called me, 'Al'. All the time." Kata Alia. "With the same tone when he got mad."
Om Erwin meletakkan piring di tangannya, matanya terpejam lalu menarik napas panjang.
"Siapa?" Tanyanya penuh penekanan.
Pintu belakang menuju teras terbuka, Ruby masuk dari sana selesai dari kamar mandi. Alia tersenyum pada Ruby lalu menyerahkan piring di tangannya.
"Lu?"
Alia menggeleng. "Kenyang."
"Oke."
"Cepat, ya." Om Erwin buru-buru membawa piringnya pergi dari ruang makan menuju ruang duduk. Bertingkah seolah tidak ada yang salah.
"Gua langsung ke kamar, ya." Alia berkata saat mereka berjalan kembali ke ruang duduk bersama yang lain.
Ruby menoleh dan memandangi Alia sebentar. Senyumnya mengembang lebar. "Malam." Tangannya terulur untuk mengusap kepala Alia.
.
Tubuhnya bersimbah keringat dalam tidurnya. Ia menggeliat melempar selimutnya ke bawah. Dari keadaannya ia tahu bahwa seseorang sudah mematikan kipas angin dan membuka gorden lebar-lebar. Cahaya matahari menuju langsung ke wajahnya."Hhhmm."
Alia bangun duduk di atas tempat tidurnya. Kasur yang ditempati Jehan dan Ghea sudah kosong. Masih berantakan seperti biasanya yang tidak pernah rapih.
Di luar rumah ada suara ramai-ramai yang Alia tahu adalah suara sepupu-sepupunya. Tubuhnya ia paksa bangun dari atas tempat tidur. Handuknya yang ada di balik pintu kamar ia raih dan kalungkan di leher. Daster panjang biru dan daleman ia ambil dari lemari lalu berlari ke kamar mandi.
Alia berlari melewati ruang TV, menyusuri lorong kamar orang tua lalu keluar dari rumah utama menuju gedung sebelah untuk ke kamar mandi.
"Neng?"
Alia berhenti mendadak sebelum masuk dapur utama saat seseorang memanggilnya.
"Tante Hera."
Ibunya Ruby duduk di kursi taman di antara rumah utama dan bangunan tempat dapur utama. Alia dengan langkah lebar menghampiri tante Hera yang duduk bersama nenek Aida di sana.
"Baru bangun, Neng?"
"Hehehe." Sudah tidak ada rasa malunya di hadapan tante Hera. "Alia mandi dulu."
"Nanti ada orang rumah atas yang datang, ya." Teriak nenek Aida saat Alia mulai memasuki dapur utama.
"Oke!" Alia tidak tahu untuk apa pula nenek Aida memberitahunya.
Rumah atas yang dimaksud adalah rumah pengurus kebun. Tempat orang yang membantu mengurus kebun keluarga tinggal. Alia tahu bahwa keluarga itu adalah keluarga turun temurun yang membantu keluarganya mengurus perkebunan.
Alia mungkin harusnya tahu asal-usul keluarga itu. Mungkin leluhur mereka pernah Alia kenal dulu.
Selesai mandi, Alia berjalan keluar rumah. Teras rumah yang menghadap langsung ke lapangan di seberang jalan diisi oleh orang-orang yang duduk di tikar termasuk Ruby.
"Kemana yang lain?" Tanya Alia sambil duduk di samping pria itu.
"Papah, Hansa, Mef, dan Dimas joging dari pagi. Belum pulang." Ruby menawarkan gelas teh manisnya yang tinggal setengah pada Alia. "Mereka nyasar gak, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gone : Maliaza Ambaraningdyah
Historical FictionNOTE : Silahkah baca 'The Past Keeper' dulu yaa This one is kinda spin off maybe. Another story dari POV Alia, Ruby, Ghani, Astaka, dan Danastri sebelum, saat, dan setelah Alia pergi dan kembali. MUNGKIN JIKA ADA YANG BERMINAT BOLEH MAMPIR.