Ghani sudah terbiasa dengan rumah-rumah yang terbuat dari kayu atau anyaman bambu. Satu-satunya alasan ketidaknyamanannya saat 'bertugas' adalah tidak adanya kipas angin atau AC. Ghani butuh itu.
Malam ini ada malam penyambutan di kediaman Paduka Karkasa. Penyambutan yang tidak tahu untuk apa pula. Percayalah tidak ada makanan yang bisa orang-orang bangsa barat ini makan dalam jamuan hidangan.
Tapi mereka akan sangat tertarik dengan pertunjukan yang ditampilkan.
Mereka berangkat dari rumah singgah yang mereka tinggali dengan menggunakan dokar yang ditarik dengan dua ekor kuda. Ghani duduk di kereta kuda ketiga bersama Safield dan empat orang lainnya.
Sebuah rumah besar yang terlihat jauh lebih mewah dari rumah warga desa lainnya berdiri tepat di hadapan Ghani. Di depan rumah berdiri orang-orang yang menyambut mereka.
Seorang pria berambut panjang yang sudah sedikit beruban berdiri paling depan di dampingi Ndoro Purwanka dan seorang pria tua lainnya. Di sebelah Panglima Astaka ada seorang pria besar lainnya dengan wajah menakutkan dan mata tajam yang gelap.
Pria berambut panjang itulah Paduka Karkasa. Tuan Edward, pria yang memiliki jabatan paling tinggi di The Dussel's berdiri di hadapan Paduka Karkasa. Mereka saling berjabat tangan.
Darto, si penerjemah yang senang cari muka itu terus berada di samping Tuan Edward.
Safield anehnya tiba-tiba tertarik untuk berdiri di barisan depan. Padahal selama ini dia sama sekali tidak tertarik dengan bisnis perdagangan ini. Dia ikut untuk belajar dan mengenak dunia luas. Bermain-main lebih tepatnya.
Pria muda itu tiba-tiba berjalan ke belakang dengan tergesa-gesa.
"Parwoko." Tangan Safield untuk menarik siku Ghani. "My uncle said he wants you to accompany him, now."
"Wait."
Safield menariknya untuk berjalan ke depan.
Darto jelas-jelas memandang Ghani dengan tatapan permusuhan. Ghani tersenyum miring sambil menaikan sebelah alisnya.
Semua basa-basi perkenalan itu terus berlanjut hingga kedalam ruangan. Sebuah ruangan besar di mana semua orang yang ada duduk lesehan di lantai sedangkan Paduka Karkasa dan istrinya duduk di kursi yang berada di atas tiga undakan tangga.
Orang-orang bangsa barat ini jelas bergumam tidak suka.
Paduka Karkasa menawarkan tiga orang tertua The Dussel's untuk duduk di kursi. Untuk menghormati tradisi di sini, mereka menolak.
Perkenalan diawali dengan Tuan Miller, perwakilan Tuan Edward yang berbasa basi memberi salam dan kesenangannya untuk datang dan berbisnis bersama.
"Siapa namamu?" Tanya Paduka Karkasa.
Ghani sedikit mendongak dan menatap Pria bertubuh besar itu dengan hati-hati. Dia harap aktingnya untuk bersikap takut-takut berhasil.
"Hamba Parwoko, Paduka."
Setelah selesai memperkenalkan satu per satu anggota The Dussel's yang sebagian besar memiliki nama Dussel, sekarang saatnya Paduka Karkasa mengenalkan petinggi pemerintahannya dan keluarganya.
Nyai Kinasih, wanita super anggun yang duduk di sampingnya. Datyani, anak pertamanya yang berwajah jutek duduk di barisan paling depan. Denurtri, anak keduanya yang kalem duduk di sebelah kakanya. Danastri, anak ketiganya yang terlihat sudah bosan terpaksa menyimak. Dewani, anak paling muda yang terlihat antusias menebar senyum dan memandang ke para tamu.
Danastri? Ghani memperhatikan wanita muda itu sebentar sebelum menerjemahkan kembali apa yang Ndoro Purwanka katakan.
Acara berikutnya sebelum makan malam adalah pertunjukan wayang, musik, dan tari-tarian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gone : Maliaza Ambaraningdyah
Historical FictionNOTE : Silahkah baca 'The Past Keeper' dulu yaa This one is kinda spin off maybe. Another story dari POV Alia, Ruby, Ghani, Astaka, dan Danastri sebelum, saat, dan setelah Alia pergi dan kembali. MUNGKIN JIKA ADA YANG BERMINAT BOLEH MAMPIR.