Setelah berkendara beberapa jam, mereka sampai di pinggir pantai. Setelah memarkirkan mobil, mereka membawa barang-barang dan memasuki tepi pantai.
Mef dan Hansa melambaikan tangan karena mereka menemukan pendopo yang kosong. Pendopo kedua dari pojok deretan pendopo. Di ujung deretan itu ada pohon-pohon kelapa yang besar.
Papih Alia membayar uang sewa, Mef dan Hansa mulai menggelar tikar, Mamih Alia dan tante Hera mulai membuka kotak-kotak makan.
Alia dapat melihat raut bersemangat Mef dan Hansa. Mereka makan siang yang sudah sore dengan cepat. Setelah makan, dua anak SMA itu mengoleskan sunblock ke seluruh badan lalu berlari ke arah pinggir pantai.
"Jangan masuk ke laut!" Om Erwin berteriak.
Mamih dan tante Hera tentu tidak akan mau bermain bersama di pinggir pantai sana. Panas. Papihnya mulai berjalan menjauhi pendopo.
"Ayo, Li!" Ruby mulai mengajaknya.
Alia menimbang-nimbang apakah harus ia memperlambat jalannya supaya bisa bicara dengan om Erwin atau ia harus menerima uluran tangan Ruby?
Om Erwin seperti sengaja bergerak lebih lambat, mengoles sunblock, mengenakan kembali jam tangan, minum soda.
Alia tersenyum dan menerima uluran tangan Ruby.
Tidak tahu sudah berapa lama mereka bermain di pinggir pantai. Celana dan rok sudah basah hingga sampai ke lutut. Hansa dan Ruby yang tidak segan saling banting sudah basah hingga ke kaosnya.
Menjelang sore, Mamih Alia berteriak dari depan pendopo menyuruh mereka berhenti.
"Sebentar lagi!" Teriak Mef.
Alia mulai berjalan mendekati pendopo. Mamihnya menawarkannya minum. Alia duduk untuk minum dan makan kue-kue buatan Tante Hera.
Dari jauh, dia melihat Om Erwin berjalan mendekat. Ia minum satu dua teguk lalu berjalan ke bawah pohon kelapa untuk merokok.
Akhirnya Alia memutuskan untuk bergabung dengan Om Erwin. Ia mengeluarkan pod vape dari dalam tas dan berjalan ke bawah pohon kelapa.
Mereka berdua berdiri dalam diam memandang ke arah laut. Melihat orang-orang berlalu-lalang, ada ATV, dan kuda. Melihat Mef dan Hansa yang asik berfoto dengan Ruby, dari jauh diawasi oleh Papihnya.
"Belatinya ada di Om. Nanti Alia ambil, ya."
Alia menggeleng pelan.
"Om gak tahu gimana ceritanya. Tapi kalau memang itu milik Alia, ambil, simpan."
Alia diam.
"Itu punya, Al?"
Alia diam. Tidak menjawab, tidak mengangguk, atau menggeleng.
"Dari mana?"
"Dari Astaka."
Om Erwin diam. Tidak menanggapi. Terdengar satu helaan napas panjang disusul tarik napas berat.
"Em-"
Alia menoleh dan mendongak menatap Om Erwin. Dia tahu bahwa amat sangat banyak pertanyaan yang ingin keluar dari mulutnya. Pasti otaknya penuh dengan rasa penasaran. Mungkin hatinya dipenuhi penyesalan.
"Satu saja." Kata Alia. "Satu saja pertanyaan, Alia jawab."
"Kamu sudah bilang hubungan Astaka dengan Danastri, lalu apa hubunganmu dengan Astaka?" Om Erwin tanpa ragu dan tanpa pikir panjang bertanya.
Dan sekarang Alia ingin marah. Kenapa dia harus marah? Dia yang menawarkan hal itu.
"Om mau Lia jawab apa? Astaka selalu memperlakukan Alia seperti bagaimana Ruby. Kami berteman dengan sangat baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gone : Maliaza Ambaraningdyah
Historical FictionNOTE : Silahkah baca 'The Past Keeper' dulu yaa This one is kinda spin off maybe. Another story dari POV Alia, Ruby, Ghani, Astaka, dan Danastri sebelum, saat, dan setelah Alia pergi dan kembali. MUNGKIN JIKA ADA YANG BERMINAT BOLEH MAMPIR.