Ghani mengikuti alur pemainan yang dijalankan orang-orang. Dia menjadi penerjemah dari keluarga Dussel. Perantara keluarga Dussel pada keluarga Paduka Karkasa.
Seseorang bernama Darto sangat jelas terlihat mencari muka di hadapan petinggi-petinggi The Dussel's, sementara Wiguno jelas terlihat kikuk jadi dia diperuntukan untuk menjadi penerjemah para pekerja. Hal ini menjadi kesempatan Ghani untuk mendekati Dussel-Dussel muda seperti Safield.
Sudah dua hari Ghani berada di tempat ini. Dia menyimpulkan bahwa mereka akan mengadakan perjanjian kerja sama jual beli.
Sepanjang dua hari itu pula dia memperhatikan Panglima Astaka. Pria bertubuh besar itu menurutnya amat sangat baik-baik saja. Tidak tampah keanehan pada pria yang dia pikir dia kenal.
Safield bertingkah seperti remaja penasaran pada umumnya. Dia sangat tertarik dengan tempat baru, sering bertanya ini dan itu, bercerita banyak hal tentang perjalanannya.
Selama dua hari ini pula, Ghani mencari dan menunggu seseorang bernama Danastri datang. Jika bukan dua pria ini targetnya, maka Danastri adalah orangnya.
Pagi ketiganya dia nikmati dengan duduk memandang matahari terbit dari rumah singgahnya di atas bukit yang mengarah langsung ke laut. Di tangannya terdapat segelas teh hangat.
Tiba-tiba satu suara berat dan mengintimidasi menghampirinya. Ghani terlonjak kaget. Ia meletakkan gelasnya di lantai lalu berdiri. Lututnya ia tekuk membawa tubuhnya serendah mungkin.
"Bangun! Berdirilah!" Kata Panglima Astaka sambil menarik siku Ghani.
"Ada yang bisa saya bantu, Panglima?"
"Kau senang matahari terbit?" Tanya Astaka sambil mengalihkan pandangan ke arah laut. "Nikmatilah. Pemandangan ini tidak akan kau temukan di tempat singgahmu berikutnya."
Mereka berdiri menghadap laut dalam diam selama beberapa menit.
"Ada yang salah dari saya?" Tanya Astaka tiba-tiba.
Ghani menoleh dan memandang takut-takut pada Astaka.
"Saya sering mendapati kau sedang memandangi saya." Astaka menoleh pada Ghani.
"Oh." Pria ini sadar aku memandanginya. "Saya mohon ampun Panglima. Bukan apa-apa saya memperhatikan Panglima." Ghani mengatukan telapak tangannya di depan dada. "Hanya, Panglima mirip dengan seseorang yang pernah saya kenal dulu. Saya mohon ampun, Panglima. Saya tidak bermaksud -"
"Apa orang itu membawa sesuatu yang buruk padamu?"
"Oh, tidak." Jawab Ghani cepat. "Dia orang yang sangat baik dalam hidup saya."
"Bagus. Saya tidak ingin mengingatkanmu terhadap sesuatu yang buruk."
Ghani melihat sedikit saja pria itu tersenyum sangat tipis.
"Mari kita makan!" Ajak Astaka.
Pagi itu, rombongan Ndoro Purwanka pulang dan membiarkan mereka untuk mempersiapkan beberapa hal terlebih dahulu sebelum akhirnya mereka akan berkunjung ke wilayah kekuasaan Paduka Karkasa.
Hal yang mengejutkan adalah bahwa Ndoro Purwanka sedikit-sedikit bisa berbahasa Inggris.
Orang-orang kulit putih itu selayaknya bangsa barat pada umumnya terutama di jaman itu. Orang-orang yang merasa bangsa mereka lebih tinggi derajatnya dari bangsa lain.
Mereka terus menghina dan menjelekan orang-orang pribumi di sini. Mengatakan hal-hal kotor, mengatakan kalau tempat ini lebih mirip kandang binatang dan bla-bla-bla-bla.
Kecuali Safiled. Pria itu memiliki rasa penasaran dan ketertarikan yang besar. Dia tidak senang mengomentari banyak hal dan berbicara buruk tentang orang-orang pribumi.
Safield lebih senang bertanya dan dia berani mencoba. Hal itu bisa membuat Ghani lebih dekat pada pria muda itu.
Berhari-hari kemudian, Ndoro Purwanka kembali dengan rombongannya untuk menjemput mereka. Banyak kereta kuda di sediakan untuk mengangkut mereka. Banyak gerobak-gerobak yang ditarik kerbau besar disediakan untuk mengangkut barang-barang.
Salah seorang petinggi The Dussel's menyenggol dengan kasar tubuh Wiguno yang akan meletakkan satu tas bawaanya di atas gerobak. Pria itu mengatakan bahwa tidak sudi barang-barangnya dijadikan satu dengan barang-barang mereka.
Panglima Astaka datang menarik siku Wiguno untuk berdiri tegak.
"Katakan padanya bahwa mereka bisa menarik barang bawaan sendiri dengan mulut mereka yang kotor dan badan mereka yang bau sapi itu!" Astaka berdiri tegak di hadapan pria yang Ghani ingat bernama Acton, memandang pria kulit putih itu dengan tajam.
Wiguno di sampingnya gemetar ketakutan sambil menggeleng pelan ke arah Astaka.
"Katakan!" Astaka mencengkram lengan Wiguno lebih keras sambil mengguncangnya.
Tepat saat Ghani hendak melangkahkan kaki ke sana, Safield datang dan berdiri di hadapan Astaka dan Acton.
"That's enough!' Katanya sambil membalikan tubuh Acton dan mendorongnya pergi dari sana.
Ghani memperhatikan bagaimana Panglima Astaka membantu Wiguno untuk meletakkan barangnya dan membantunya menaiki gerobak bersama beberapa pekerja lainnya.
Saat itulah Ghani ingat seseorang. Seseorang yang pernah dan sering membantunya. Seseorang yang berhasil membuatnya bertahan di arsitektur.
Seseorang yang persis seperti Panglima Astaka tapi dengan raut wajah santai, tatapan hangat bersahabat, dan murah senyum.
Seniornya, Fakhruty Ruby.
Benarkah bukan dia orangnya? Benarkah bukan Senior Ruby targetnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Gone : Maliaza Ambaraningdyah
Historical FictionNOTE : Silahkah baca 'The Past Keeper' dulu yaa This one is kinda spin off maybe. Another story dari POV Alia, Ruby, Ghani, Astaka, dan Danastri sebelum, saat, dan setelah Alia pergi dan kembali. MUNGKIN JIKA ADA YANG BERMINAT BOLEH MAMPIR.