"Ada apa?!" Pintu rumah tiba-tiba terbuka lebar. Ruby melangkah keluar dan memandang mereka bertiga bingung dan terlihat hampir marah.
Alia berdiri dari kursinya lalu berlari memeluk Ruby, menenggelamkan wajahnya di bahu Ruby dan menangis. Punggungnya terasa diusap dan ditepuk-tepuk lembut.
"Kenapa?"
Alia mendengar bisikan lembut di atas kepalanya.
"Bawa Al masuk, By."
Alia merasakan lengan Ruby yang memeluk bahunya dan menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah, membawanya duduk di pojok ruang tamu. Ruby duduk di sampingnya masih mengusap-usap bahu hingga punggungnya.
"Kenapa lu ada di luar?" Tanya Ruby.
"Jangan dilepas, please." Alia menarik Ruby untuk tetap di dekatnya.
"Ssstt! That's okay." Ruby menariknya ke dalam pelukannya. "Gua antar ke kamar?"
Alia menggeleng pelan.
"Lu mau apa? Minum? Ke kamar mandi?"
Sekali lagi Alia menggeleng.
"Yuk, kebelakang!" Ruby mengguncang pelan bahu Alia. "Kita ambil minum."
Ditariknya tubuh Alia untuk berdiri. Wanita itu menurut. Mereka bangun dan berjalan ke arah ruang makan melalui pintu ruang tamu, melewati taman tengah dan masuk ke bangunan sebelah.
Alia duduk di salah satu kursi meja makan yang di tarik Ruby untuknya. Kedua tangannya masih menggenggam erat tangan Ruby.
"Gua ambilin minum dulu sebentar."
Alia berhasil ditenangkan oleh Ruby. Tangannya mulai melepas genggaman erat di tangannya. Diperhatikannya pria itu berjalan mengambil gelas dan mengisinya dengan air hangat dari dispenser.
Gelas itu diletakkan di atas meja, di hadapannya. Ruby menarik kursi mendekat untuk duduk di sampingnya, membantu Alia minum.
Beberapa saat mereka diam. Alia memandang lurus ke dalam gelas sedangkan Ruby masih terus mengusap-usap punggung Alia.
"Kenapa?" Bisiknya. "Kenapa lu bisa ada diluar? Kenapa ada Papah sama orang yang tadi siang? Kenapa lu nangis?"
Alia harus bilang apa? Apa yang harus ia jelaskan? Ruby jelas marah dan berpikiran buruk melihat Alia duduk di luar dan menangis bersama dua orang pria tua.
"Nightmare." Jawab Alia pelan. Sangat pelan hingga hampir tidak terdengar.
"Mimpi apa?"
Rambutnya yang tergerai berantakan karena bangun tidur tadi berusaha Ruby rapihkan. Pria itu menyingkirkan rambut yang menempel di wajah karena keringat dan air mata.
Alia menggeleng sekali lagi. Mau bohong apa lagi dia?
"Kenapa di luar? Kenapa gak bangunin gua?"
Alia tidak menjawab apa-apa, tidak menggeleng, tidak mengangguk.
"Kenapa? Mimpi apa?"
Alia berbalik untuk menghadap Ruby. Ia mengulurkan kedua tangannya untuk menarik Ruby mendekat. Dipeluknya leher pria itu supaya diam mulutnya.
Concern utama Astaka bukan bertanya, tapi menenangkannya.
Ruby tidak lagi bertanya. Ia mengusap kepala Alia, terus hingga punggungnya. Telapak tangannya yang besar dan hangat sesekali menepuk-nepuk punggung Alia.
"Kalau sudah mau tidur bilang, ya! Gua antar ke kamar."
.
Tubuhnya mulai terasa lengket, kaos tidurnya hampir basah. Cahaya terang seperti tepat berada di hadapannya. Alia menggeliat dari tidurnya.
Alia terbangun karena kipas angin sudah dimatikan. Jendela yang tepat berhadapan dengan arah dia tidur gordennya sudah terbuka.
Selimut yang ada di ujung kakinya ia tarik hingga menutupi kepala menghalau sinar matahari. Sebuah erangan keluar dari mulutnya. Alia menarik ke dua tangannya ke atas kepala hingga tulang-tulang punggung dan persendiannya bunyi.
"Eeeeeng."
Selimut birunya kembali ia lempar mendengar erangan lain. Ghea masih tertidur di tempat tidurnya. Ia menendang-nendang selimut dan gulingnya hingga jatuh ke lantai.
TOK!TOK!TOK!
Alia menoleh ke arah pintu kamar yang terbuka. Ruby berdiri di sana dengan senyum lebar memandang Alia.
"Sarapan, yuk!"
Jam di atas meja Ghea menunjukan pukul setengah delapan lewat. Alia turun dari kasur dan berjalan menuju pintu, ia menerima uluran tangan Ruby.
"Ghea gak dibangunin?"
"Nanti laper bangun sendiri."
"You already good?" Ruby hampir membungkuk untuk memandang wajah Alia. Ia menarik wajah Alia untuk mengecup pelipisnya.
Alia tersenyum kecil dan mengangguk. Dia bahkan tidak ingat kenapa ia bisa berakhir di tempat tidur dan kapan ia kembali ke kamar.
Sepanjang pagi itu Alia sadar bahwa Ruby selalu ada di sampingnya, selalu menemaninya kemana-mana. Alia sadar bahwa Ruby berusaha menghindarinya dari papahnya sendiri. Tidak ditinggalkannya Alia sendirian. Om Erwin hanya sempat untuk menanyakan keadaan Alia lalu Ruby buru-buru mengajaknya pergi.
Alia tidak tahu apa yang Om Erwin katakan pada Ruby.
Menjelang siang, Om Erwin dan Tante Hera, Hansa, Mef, Papih dan Mamihnya pergi menggunakan satu mobil menuju pantai. Saudara-saudaranya yang lain pergi masing-masing.
"Ayo, Neng!" Tante Hera menggandeng lengan Alia.
Kursi belakang mobil Om Erwin penuh dengan kotak-kotak makanan dan beberapa tikar. Di bagasi berisi tas pakaian jika mereka kemaleman, mereka bisa mencari hotel di sana. Alia dan Ruby berkendara berdua di dalam mobil cokelat Om Erwin.
Mobil yang ditumpanginya melaju mengikuti mobil Papihnya di depan.
"Papah bilang apa? Cerita sesuatu?"
"Hm." Ruby bergumam menoleh ke arah Alia sekilas. "Papah bilang kamu bangun karena mimpi buruk, terus ngerokok di teras sama Papah."
Mereka mulai memasuki jalanan besar.
"Terus-" Ruby berhenti bicara.
"Terus?" Tanya Alia.
"Terus lo kenapa?"
Loh? Mana gua tahu.
"Om itu bilang apa tentang mimpi lo?" Ruby mengalihkan pandangannya sekilas dari jalanan.
Alia menggeleng. "Gak ngerti. Memperburuk keadaan gua pengen nangis aja."
"Dia bilang apa?"
Alia mendelikan bahu. "Sesuatu tentang leluhur gua. Jangan bahas lagi"
Alia sadar sadar, Ruby menatapnya curiga.
REVISI SKRIPSI TUH ANJNG BANGET YEEE
KAMU SEDANG MEMBACA
Gone : Maliaza Ambaraningdyah
Historical FictionNOTE : Silahkah baca 'The Past Keeper' dulu yaa This one is kinda spin off maybe. Another story dari POV Alia, Ruby, Ghani, Astaka, dan Danastri sebelum, saat, dan setelah Alia pergi dan kembali. MUNGKIN JIKA ADA YANG BERMINAT BOLEH MAMPIR.