Astaka

42 5 0
                                    

Astaka berbaring miring di atas dipannya yang tipis. Lampu minyak di atas peti menyala redup. Pada dinding-dinding anyaman bambu kamarnya, ada biasan cahaya biru yang dipantulkan lampu minyak ke batu yang ada di gagang belati di atas meja.  

Kapan waktu yang tepat untuk dia pergi dari tempat ini? Kalau dia memang ingin pergi, kemana?



.

Seminggu kemudian dia melihat Danastri sudah duduk di halaman depan Rumah Atas bersama Cindhe dan Giyarto. Mereka mulai membongkar semak belukar dan memotong benalu yang merambat di mana-mana. 

Seminggu kemarin ntah bagaimana Danastri baru mengeluhkan sakit di tubuhnya. Bahu dan lengannya masih terasa perih dan merembes darah.

Pagi itu, ketika dia keluar dari rumah membawa Banu bersamanya, Astaka berhenti di jalan di depan Rumah Atas. Dia berjongkok di samping Danastri yang tangannya sudah kotor oleh tanah.

"Kau mau ke mana?" Tanya Danastri begitu melihat Banu di jalan.

"Ada laporan dari pasar. Saya harus memeriksa beberapa hal."

Danastri mengangguk. "Apa ada tanaman-tanaman tersisa di rumah?"

Astaka menyadari suara Danastri yang bergetar.

"Sepertinya kita harus ambil beberapa untuk memenuhi halaman rumah ini."

"Besok, ya." Tawar Astaka. "Besok saya carikan tanaman-tanaman yang bisa diangkut ke sini."

"Maksudnya saya mau ikut."

Napas Astaka tercekat. Dia diam menahan napas beberapa detik sebelum menyahuti. "Nanti saya lihat keadaannya dulu, ya." Astaka berpamitan lalu pergi. 

Sepanjang jalan dia memikirkan apakah itu keputusan yang baik untuk membawa Danastri ke rumahnya. Kembali ke kediaman Paduka Karkasa yang sudah hancur lebur dan berantakan. Sepertinya tidak. Astaka tidak siap dengan drama lain yang mungkin terjadi.


Inspeksinya pagi itu di pasar ditemani beberapa anak buahnya yang tersisa. Mereka berhasil menangkap tiga laki-laki yang kemarin menimbulkan keributan di pasar. Menyebarkan berita tentang akan adanya pemberontakan susulan dan semacamnya. 

Satu pemuda yang terus meracau dia pukul kepalanya menggunakan tampah bambu. Astaka segera menyuruh anak buahnya membawa tiga pemuda itu pergi sebelum kesabarannya habis.

Pagi itulah seseorang wanita mendatanginya di area samping pasar tempat dia mengikat Banu. Seorang wanita yang hampir tua, kurus, berambut panjang di kepang berjalan tergopoh-gopoh menghampirinya. Wanita yang mengenakan kain batik cokelat gelap dan kebaya hitam sederhana menggenggam tangannya sambil menangis. Dari  jari-jemari tangan dan kakinya bisa dilihat keriputan dan flek-flek hitam.

Wanita itu sedikit membungkuk untuk meraih tangan Astaka.

Astaka berdiri diam membeku. Sisa anak buahnya berbalik badan dan pura-pura tidak melihat apa yang terjadi. 

Dalam tangisnya wanita menggumamkan sesuatu yang tidak bisa Astaka dengar dengan jelas.

"Bibi." Kata pertama yang keluar dari Astaka terdengar lirih dan kebingungan. Dia merasa tidak enak karena ada wanita tua yang membungkuk di hadapannya sambil menangis dan menciumi tangannya. "Berdirilah! Jangan seperti ini!"

"Tolong Inten, Astaka."

Wanita ini adalah bibinya. Saudari ibunya dari lain ibu. Kakek Astaka menikah lagi setelah istri pertamanya meninggal. Wanita tua ini adalah anaknya dari pernikahan kedua itu. Ibunya dan bibi ini sama sekali tidak dekat, tapi ikatan persaudaraan itu Astaka jalin untuk sekadar basa-basi ketika dia pindah ke kediaman Paduka Karkasa.

Gone : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang