Mungkin terlalu pagi baginya untuk keluar kamar. Beberapa pengawal terkejut melihatnya. Danastri berjalan menuju dapur, dia berdiri di ambang pintu.
Bibi Dasih dan dua orang pemudi ada di dalam dapur sedang memasang. Salah seorang pelayan melihat Danastri berdiri di ambang pintu.
"Ndoro butuh sesuatu?" Tanya salah satu dari mereka.
Bibi Dasih berbalik dan membulatkan mata melihat Danastri berdiri di sana.
"Yaa Allah Gusti Pangeran." Bibi Dasih buru-buru mendekatinya, mengulurkan tangan dan memeluknya. Di telinganya dibisikan kata-kata syukur. "Kau mau apa, Ndok?"
"Astri mau teh hangat." Kata Danastri pelan.
"Duduklah di depan! Nanti bibi antar."
Danastri menurut dan berbalik menuju ruang tamu untuk duduk. Pintu dan jendela-jendela sudah dibuka. Udara pagi yang dingin dan segar masuk melalui segala arah.
Punggungnya ia sandarkan senyaman mungkin pada kursi. dia memandang jauh ke dalam rumah, ke arah lorong yang berisi kamar-kamar.
Kepalanya disandarkan, menggunakan pipi tirusnya sebagai bantalan. Rumah ini tidak bisa dibandingkan dengan rumahnya. Kediaman Paduka Karkasa yang luas, mewah, dan menampung sangat banyak orang.
Tidak ada ukiran-ukiran rumit, elegan, dan indah di setiap dindingnya. Tidak ada wewangian yang dibakar di setiap sudut rumah. Tidak banyak pelayan dan pengawal yang berkeliaran.
Lamunannya tersadar karena suara dari luar. Dua pengawal yang berjaga di teras setengah berteriak menyapa seseorang.
"Pagi, Panglima."
Danastri menegakkan tubuhnya dan melongok ke luar rumah. Astaka bersama dua orang pengawal melewati jalan menurun menuju bawah.
Astaka hanya mengangkat tangannya sambil terus jalan.
Danastri mengerutkan kening bingung. Astaka tidak pernah tidak menengoknya sebelum berkegiatan. Setiap pagi, pasti pria itu datang ke kamarnya atau menghampirinya setelah sarapan hanya untuk bertanya bagaimana tidurnya, hanya untuk melaporkan kegiatannya hari itu.
Sesuatu hal yang tidak perlu, tapi Astaka selalu melakukannya. Berpesan jika Danastri ingin melakukan sesuatu atau butuh sesuatu dia bisa meminta Giyarto untuk mencarinya supaya Astaka datang.
Astaka tidak lagi menemuinya hingga semalam. Pagi ini, dia juga tidak mampir untuk mengunjunginya.
Bibi Dasih duduk bersamanya setelah menyajikan Bibi Dasih, di susul Bibi Sadah dan Sura beberapa saat kemudian. Sura datang membawa kucing abu-abu di pelukkannya lalu dia melepas kucing itu di luar rumah. Kucing abu-abu yang sama dengan semalam. Kucing itu berlari memasuki kebun mengejar kupu-kupu.
Bibi Sadah mengusap kepalanya lalu menciumnya sekali sebelum duduk dan bergabung. Sura masuk dengan gaya santainya dan mata sembab.
Gadis muda itu kehilangan kakak kesayangannya. Mungkin dia juga sudah manangis berhari-hari. Sura duduk di sebelah ibunya sambil mengambil jagung rebus dari meja.
"Mbak, Sunah tidak mau bersama Sura atau Mas Astaka. Dia selalu kembali ke sini. Dia mau bersama Mbak Astri."
Danastri tahu betul siapa Sunah. Kucing barusan. Kucing abu-abu kecil yang tadi mengejar kupu-kupu ke dalam kebun.
"Tidak apa-apa. Biarkan dia berkeliaran di mana dia mau."
Jauh di dalam hatinya, Danastri dapat merasakan kasih sayangnya untuk kucing itu. Sisa rasa sayang dari Alia untuk Sunah. Rasa sayang yang berusaha dia tolak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gone : Maliaza Ambaraningdyah
Historical FictionNOTE : Silahkah baca 'The Past Keeper' dulu yaa This one is kinda spin off maybe. Another story dari POV Alia, Ruby, Ghani, Astaka, dan Danastri sebelum, saat, dan setelah Alia pergi dan kembali. MUNGKIN JIKA ADA YANG BERMINAT BOLEH MAMPIR.