Pagi-pagi sekali, Ghani terbangun karena suara ayam berkokok dan suara kerbau yang mungkin sedang digiring ke sawah untuk membajak. Dari ventilasi sudah muncul cahaya matahari.
Ghani bangun dari tidurnya, dia berdiri di tengah kamar sambil mengangkat kedua tangannya ke atas dan dia tarik hingga tulang punggungnya bunyi menyakitkan.
Di luar kamar lewat seorang gadis muda yang wajahnya tidak asing. Anak Ndoro Purwanka yang Ghani lupa siapa namanya. Gadis itu mengangguk singkat pada Ghani sebelum pergi keluar rumah memeluk seekor kucing abu-abu di pelukannya.
Kucing Danastri. Kucing Alia dulu.
Mendengar cerita apa yang sudah terjadi, gadis itu hebat masih bisa selamat. Kakak laki-lakinya meninggal ketika mempertahankan kediaman Paduka Karkasa.
Ghani pergi ke dapur untuk mengambil minum. Dia berdiri di tengah dapur memandangi sekelilingnya yang masih gelap. Pintu dan jendela dapur belum dibuka, lampu minyak juga tidak menyala.
Ada tumpukan kayu bakar dan arang batok kelapa di pojok dapur, ada dipan bambu dengan bahan-bahan masakan di atasnya. Kendi air minum dan jejeran gelas ada di meja dekat lemari.
Di ruangan ini, di lantai ini Panglima Besar Lahwana meregang nyawa. Di tempat ini pria berbadan besar Panglima kebanggaan Paduka Karkasa ditikam dimati oleh rekannya sendiri, Panglima Astaka.
Ghani harus mendapat cerita dari Alia tentang apa yang sebenarnya terjadi versi Danastri, versi Alia.
Rencananya Ghani akan pergi dari sini siang hari ke arah laut selatan. Dia akan mampir ke pelabuhan dan menumpang tidur, besok paginya Ghani akan terbangun di kamar kosannya.
Pagi ini, dia berjalan ke arah rumah atas, ketempat Ndoro Danastri tinggal lalu terus naik ke rumah Panglima Astaka.
Ghani sempat terpaku di pinggir jalan melihat dari arah atas ada seorang pria mengembala bebek mungkin menuju sawah atau sungai. Kakinya hampir gemetar karena takut bagaimana jika bebek-bebek itu berbalik dan mengejarnya.
"Permisi, mas." Pria tua itu tersenyum sambil mengangguk pada Ghani.
Di depan rumah, Ghani melihat Danastri bersama seorang pelayannya yang setia sedang mengurus tanaman. Ada beberapa tanaman merambat berdaun merah gelap yang sedang Danastri rangkai di bambu yang sudah di belah empat.
"Permisi!"
Pelayan yang berjongkok tidak jauh dari jalan buru-buru menoleh diikuti Danastri. Wanita muda itu tersenyum tipis pada Ghani, ia melangkah mendekat, berjalan dengan anggun dan berdiri di hadapan Ghani.
"Kau bangun pagi-pagi sekali."
Danastri memiliki wajah yang tenang, mata yang bisa merendahkan orang, dan dagu terangkat. Senyumnya tipis, gestur tubuhnya sangat terjaga dengan baik.
Danastri mengenakan kain batik yang dililit ketat di pinggangnya, kebaya sederhana, dan rambut yang digulung ke atas dengan tusuk konde.
Semua yang tidak pernah Ghani lihat saat Alia ada di tubuhnya.
"Ndoro, saya ingin pamit pergi. Saya harus pulang." Ghani tidak bisa lagi seenaknya di hadapan Danastri.
"Safield?" Wajah Danastri berubah khawatir.
Ghani tersenyum meyakinkan. "Tidak. Safield akan tetap tinggal di sini."
"Saya pikir kau akan tetap tinggal saja di sini. Tidak banyak yang bisa saya tawarkan dalam keadaan sekarang, tapi kau juga pasti punya rumah dan keluarga yang bisa menjadi tempatmu pulang." Danastri berbicara dengan perlahan dan lemah lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gone : Maliaza Ambaraningdyah
Historical FictionNOTE : Silahkah baca 'The Past Keeper' dulu yaa This one is kinda spin off maybe. Another story dari POV Alia, Ruby, Ghani, Astaka, dan Danastri sebelum, saat, dan setelah Alia pergi dan kembali. MUNGKIN JIKA ADA YANG BERMINAT BOLEH MAMPIR.