Danastri

41 6 0
                                    

Di dalam sebuah kamar menampilkan sebuah dipan, meja rendah di sampingnya, dan peti kayu di ujung dipan. Dari jendela yang terbuka lebar terlihat seorang wanita muda terbaring di atas dipan beralaskan kasur tipis

Tubuhnya dipenuhi memar. Bahu dan lengan kanannya terbalut perban, di pelipis kirinya ada luka terbuka yang ditutup tumbukan dedaunan.

Tubuhnya bergerak, terdengar suara erangan. Jari-jemarinya tergenggam hingga kuku-kukunya membekas di telapak tangan lalu terbuka dan merenggang. Terus berulang-ulang.

Seorang wanita paruh baya masuk dengan cepat, menyibak kain yang sebagai pengganti pintu. Wanita itu berlutut di lantai di samping dipan.

"Ndoro?"

Wanita tua itu mengusap rambut dan pelipis wanita muda yang terbaring di atas dipan.

"Ndoro Danastri?"

Danastri tersentak kaget. Dia bangun sambil menarik napas kaget hingga dadanya terangkat cukup tinggi. Matanya terbuka, berair dipenuhi air mata.

"Ndoro Danastri." Bibi Dasih terus mengusap rambut Danastri.

Mata cokelat gelap Danastri menatap nyalang ke atas langit-langit. Napasnya memburu cepat-cepat dan tiba-tiba menangis.

"Ssshh. Ssshh. Ssshh." Bibi Dasih memeluk Danastri hati-hati. Dia terus mengusap kepala Danastri. "Kau baik-baik saja, Nak. Astri baik-baik saja. Anak cantik, anak baik, anak hebat."

Bermenit-menit kemudian gorden tersibak kasar. Seseorang berjalan pincang berjalan cepat memasuki kamar. Dia berdiri di ujung dipan memandangi Danastri yang masih dipeluk Bibi Dasih.

Danastri menyadari kehadiran orang lain di dalam kamarnya ketika merasakan sentuhan di kakinya. Sebuah tangan besar dan hangat mengusap telapak pergelangan kakinya.

"Ngh." Danastri mengerang, dengan tangannya yang tidak terluka dia mendorong Bibi Dasih bangun

Bibi Dasih menegakkan tubuhnya.

Di ujung dipannya Danastri melihat Astaka berdiri dengan tangan gemetar menyentuh kakinya. Pandangannya penuh harap, ada senyum ragu di wajahnya.

Mulut Astaka terbuka hendak mengatakan sesuatu. Semuanya batal ketika Danastri menghentakan kakinya yang diusap Astaka.

"Saya sudah bangun." Kata Danastri dengan suara serak.

Danastri melihat dengan jelas wajah terkejut Astaka. Harapan di matanya hilang seketika. 

"Danastri?"

Danastri menarik napas panjang. "Bibi, saya ingin minum."

Bibi Dasih mengangguk, ia membantu Danastri untuk duduk. Gelas di atas meja sudah dipenuhi semut. Bibi Dasih pamit untuk mengambil air dan gelas baru di dapur.

Tinggalah berdua Danastri dan Astaka. 

Danastri memandangi Astaka dari atas hingga bawah. Tubuh pria itu penuh lebam. Ada perban yang membalut tubuhnya, dari punggung, dada, hingga bahunya.

Astaka berjalan perlahan ke samping dipan Danastri dan menggantikan posisi Bibi Dasih berlutut di sampingnya.

"Danastri?"

Danastri memandangi Astaka beberapa saat. Melihat wajahnya yang lebam dan beberapa luka gores. Melihat kain yang membungkus luka-luka terbukanya mulai merembes darah.

"Apa yang terjadi? Ini Rumah Perintah, ya?" Tanya Danastri sambil melihat seisi ruangannya. 

Bukan kamarnya yang besar dan fasilitas lengkap. Bukan jendela kamarnya yang menuju taman pribadi.

Danastri menoleh ketika Astaka diam, tidak menjawab pertanyaannya. Astaka masih memandanginya dengan pandangan bingung dan kabut di matanya.

"Bukan." Suara Astaka lirih bergetar. "Kita di rumah atas."

"Kepala saya sakit Astaka."

"Bersandarlah!" Astaka menarik bantal bersandar pada dinding untuk sandaran Danastri.

Tangan Astaka terulur untuk ke arah Danastri. 

Ndoro Danastri buru-buru menghindar. Ia menarik jauh tubuhnya. Memandang Astaka dengan sinis. 

Astaka berdeham lalu menarik kembali tangannya.

Bibi Dasih datang membawakan segelas air putih baru. Hati-hati sekali Bibi Dasih membantu Danastri meminum airnya. Tangan Bibi Dasih yang telaten mengusap keringat di dahi dan leher Danastri menggunakan selendang yang tersampir di lehernya.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Astaka yang sudah berdiri kembali di ujung dipan.

Danastri mengangguk.

"Ndoro Danastri mungkin masih butuh waktu istirahat." Kata Bibi Dasih pada Astaka.

Astaka mengangguk. "Beristirahatlah. Sampai nanti, Ndoro."

Danastri ingin meyakini matanya salah lihat ketika ia menyaksikan Astaka berbalik dan keluar dari kamar dengan mata berkilau basah.

Seumur hidupnya tidak pernah dilihatnya Astaka menangis. Astaka yang selalu kuat, tegas, dan penuh waspada baru kali ini dilihatnya pria itu terlihat redup tanpa kekuatan.




Gone : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang