Astaka tersenyum. Senyum yang tidak ingat pernah Danastri lihat. Bukan senyum tipis, basa-basi, sopan-santun, atau senyum miring meremehkan. Senyum lebar, cerah, dan bahagia.
Senyum yang malah membuat Danatsri takut. Dia takut Astaka menjadi gila karena Alia.
Danastri menggeleng pelan atas pertanyaan Astaka.
"Mungkin kau harus menunggu Safield."
"Safield?"
Dia menyaksikan Astaka bangun dari duduknya lalu memandang langit. Tangan pria itu terulur ke hadapannya.
"Safield Dussel." Jawabnya. "Mari, sudah mau gelap."
Dipenghujung petang itu, Danastri berjalan beriringan bersama pengawal pribadinya, teman kecilnya.
Astaka kecil dengan badan tinggi, badan berisi, pipi tembam. Anak laki-laki yang datang ke rumahnya seminggu satu atau dua kali. Anak laki-laki yang mengajaknya bermain kotor-kotoran. Anak laki-laki yang berani melemparinya dengan tanah basah sambil tertawa. Anak laki-laki yang dengan semangat dan antusias tinggi bercerita kalau dia habis mengembala bebek. Anak laki-laki yang berhasil membuatnya tertawa karena cerita tentang tetangganya yang buta. Anak laki-laki yang memamerkan kemampuan katapelnya hingga membuat buah mangga terjatuh.
Astaka bukan tidak pernah tersenyum lebar. Astaka bukan tidak pernah berbinar-binar. Astaka bukan tidak pernah tertawa. Dia berubah.
Astaka berubah menjadi remaja laki-laki yang banyak diam, ketus, tidak lagi tersenyum dan tertawa. Remaja laki-laki yang selalu menutup dirinya. Dia berubah dari anak laki-laki yang gemar bermain menjadi remaja yang pekerja keras dan giat berlatih. Latihannya tidak kenal lelah hingga dia melampaui kemampuan siapapun remaja seusianya bahkan di atasnya.
Tidak ada lagi bermain lumpur. Tidak ada lagi cerita tentang gembala hewan. Tidak ada lagi bermain katapel. Tidak ada lagi tawa dan cerita yang datang.
Ketika Danastri meminta, Astaka malah menyuruhnya bertanya pada Paduka Karkasa untuk memperbolehkannya menonton latihan.
Danastri tidak melakukannya. Dia hanya mengintip lapangan latihan dari jauh dan menyaksikan bagaimana melesat jauhnya kemampuan berkelahi dan pedang Astaka.
Dipenghujung petang itu, Danastri mendongak memandang Astaka yang bercerita tentang insiden kamar mandi yang memalukan yang pernah terjadi di jajaran kamar pengawal dan prajurit.
Dipenghujung petang itu, sisa sinar matahari membuat kemilau di mata Astaka yang gelap.
Ketika Astaka menoleh dan menunduk memandangnya, mengakhiri cerita joroknya. Dia tertawa. Mereka berdua tertawa.
Danastri mendapatkan kembali teman kecilnya.
Mungkin suatu hari itu saat dia kehilangan ibunya, Astaka kehilangan segala cinta yang hadir dalam hidupnya.
Ketika Alia datang, dia mendapatkan lagi sesuatu yang sudah lama hilang. Perasaan yang dulu melingkupi hidupnya.
Mereka sampai lagi di Rumah Atas ketika hampir gelap. Sedikit lagi matahari menghilang dan lenyap sudah cahaya. Semua orang sudah menyalakan lampu-lampu minyak rumah mereka. Dua obor di depan pintu yang dijaga dua orang pengawal juga sudah menyala.
Danastri berdiri di tepi jalan sebelum memasuki halaman rumah. Dia berdiri menghadap Astaka.
"Terima kasih udara segarnya." Kata Danastri.
"Itu tugas saya, Ndoro. Tidak ada yang perlu berterima kasih." Jawab Astaka dengan senyum tipis.
Muncul kesunyian yang tidak berani disela siapapun. Dua pengawal tetap menjadi patung seperti biasanya. Cindhe menunggu Danastri di undakan tangga menuju teras.
"Astaka." Kata Danastri memecah kesunyian. "Maukah kau memeluk saya sebentar saja, meski saya bukan Alia."
Dengan gerakan perlahan dan agak ragu, Astaka menarik bahu Danastri dan memeluknya. Saat itulah Danastri menangis.
"Saya turut berduka atas segala hal yang terjadi. Saya minta maaf tidak banyak yang bisa saya bantu." Bisik Astaka.
Danastri mengangguk dalam tangisnya.
"Saya selalu percaya kau adalah wanita yang bisa menghadapi apapun kecuali lamaran saudagar kaya."
Danastri hampir menyemburkan tawa.
"Tidak banyak yang bisa saya lakukan, tapi saya ada di sini jika kau butuh bantuan."
Astaka mendorong Danastri sejauh lengan. Dia mengangkat selendang hijau Danastri supaya wanita itu bisa mengusap air matanya.
"Masuklah! Makan malam!"
Tangisnya tidak berhenti. Pandangan Astaka seperti anak laki-laki yang pernah menjejalinya dengan ubi rebus lembek manis yang tidak dia suka.
Hari itu Danastri sedang sakit ketika anak laki-laki itu datang. Ibunya melarangnya bermain di luar rumah. Anak laki-laki itu menjejalinya dengan ubi rebus karena Danastri tidak nafsu makan sejak dua hari.
Dia bilang, di rumah ibunya tidak akan peduli ketika dia mengatakan kalau dia tidak lapar, dia sakit perut atau semacamnya. Makan tetap makan. Harus ada sesuatu yang masuk ke dalam perutmu. Bagaimana bisa sembuh kalau tubuhmu tidak memiliki tenaga untuk sembuh.
"Jangan buat susah Bibi Dasih dan Bibi Sadah. Kasihan mereka. Kasihani juga Cindhe. Kasihani dirimu sendiri, Astri."
Tangis Danastri semakin menjadi. Rasanya sudah lama sekali Astaka tidak memanggilnya dengan nama itu. Panggilan kecilnya dulu. Panggilan yang tidak lagi Astaka sebut ketika dia menjadi pengawalnya.
Sekali lagi Danastri mengangguk.
"Masuklah! Sudah gelap, sebentar lagi dingin."
Tubuh Danastri berbalik karena di dorong Astaka. Dia berjalan masuk dituntun Cindhe tanpa menoleh ke belakang.
Mohon maaf banget kalau ceritanya ngawur kemana-mana. Mungkin sedikit lagi kita kembali ke Alia dan Ghani.
Atau mungkin masih jauh?
Yaaa tunggu ajalah yaa...
KAMU SEDANG MEMBACA
Gone : Maliaza Ambaraningdyah
Historical FictionNOTE : Silahkah baca 'The Past Keeper' dulu yaa This one is kinda spin off maybe. Another story dari POV Alia, Ruby, Ghani, Astaka, dan Danastri sebelum, saat, dan setelah Alia pergi dan kembali. MUNGKIN JIKA ADA YANG BERMINAT BOLEH MAMPIR.