Ndoro Purwanka bilang, masih ada kemungkinan kediaman Paduka Karkasa menjadi sasaran dari sisa-sisa pemberontak. Walaupun banyak bagian rumah yang masih bisa ditinggali dengan layak, mereka takut kalau anak buah Lawana akan kembali dan menghabisis siapapun yang ada di rumah.
Hari itu, Astaka menghadiri pemakaman masal dari sisa-sisa tubuh siapapun yang masih atau sudah tidak dapat dikenali lagi.
Dia ikut membantu menggali dan menutup lubang bersama sisa pengawal dan prajurit yang ada.
Menjelang siang, Ndoro Purwanka mengajaknya ke pendopo terdekat untuk makan siang yang dibawakan oleh Sura.
"Kau mungkin tahu cerita saya semasa muda. Kau masih sangat muda, Astaka. Jika ada kesempatan dan mungkin jika kau berkenan, jelajahilah dunia luar. Kau pantas mendapat pengalaman jauh di luar desa ini, jauh di luar perbatasan."
Ndoro Purwanka merangkul bahunya, menepuk pundaknya seperti bagaimana Paduka Karkasa dulu melakukan segalanya.
"Kau anak yang baik. Kau cerdas, berani, kuat. Kau memiliki segala hal untuk bertahan di dunia luar. Jika kau berkenan dan berkesempatan, ajak sekalian Danastri pergi dari sini."
Astaka mendenguskan tawa tanpa ragu. Biasanya dia akan bersikap kelewat sopan dan kelewat hormat di hadapan Paduka Karkasa. Jika ini adalah Ndoro Purwanka Astaka merasa lebih aman.
"Bukan saya yang akan melakukannya, Paman. Biarkan Danastri menunggu Safield datang menjemputnya." Jawab Astaka. "Kalau saya harus pergi, biarkan saya pergi sendirian. Biar saya bawa Banu mencari Ambar lalu kami bisa pergi kemanapun kami mau, kemanapun kami suka."
Astaka menoleh dan memandang Ndoro Purwanka. "Mungkin menyusuri jejak yang pernah Paman lalui dulu? Menemukan perempuan seperti Bibi Sadah untuk saya jadikan teman hidup."
Ndoro Purwanka tertawa pelan mendengarnya.
Benarkah dia ingin perempuan lain? Benarkah dia akan menemukan perempuan yang akan dia cinta dan nikahi? Benarkah dia akan meinginkan perempuan lain setelah Alia pergi?"
Tapi mungkin Ndoro Purwanka benar. Dia memiliki kesempatan untuk pergi dari sini. Toh, sudah tidak ada lagi yang bisa menahannya. Toh, sudah tidak ada lagi alasannya untuk tinggal.
Saat makan siang itulah seseorang datang menyampaikan pesan padanya bahwa Ndoro Danastri mereka memanggil Astaka nanti sore.
.
Dan sekarang di sinilah dia. Duduk di tepi sawah dengan sebuah belati terulur di hadapannya.
Di hadapannya terulur sebuah belati di dalam sarung kulit tebal. Belati yang di gagangnya terdapat batu berwarna biru.
"Ceritakan tentang Alia."
Astaka menoleh kaget mendengar Danastri menyebut nama itu. Apa yang dia bicarakan? Apakah dia ingat siapa yang pernah ada di dalam dirinya?
"Bagaimana kalau kau ceritakan tentang dia?"
Dia diam tidak menanggapi apapun. Matanya memandang wajah Danastri dengan senyum miring di wajahnya. Matanya berkilat menggoda.
"Bahagia kau bersamanya? Saya belum pernah melihatmu memandang seseorang dengan penuh kasih seperti itu. Saya belum pernah melihatmu tertawa selepas saat kau bersamanya."
Astaka masih tetap diam.
"Bahagia kau bersamanya?" Ulang Danastri. "Maaf kalau saya mengganggu."
Astaka menarik napas panjang dan menghembuskannya kasar tanpa ragu. "Saya senang kau kembali."
Danastri mendenguskan tawa. Kedua tangannya terlipat di pangkuannya dengan anggun masih memegang sebilah belati.
"Senang?" Tanyanya dengan nada menyindir. "Saya dapat melihat perbuhanmu dengan jelas Astaka. Kau sama sekali tidak senang."
Ya. Jelas Astaka sadar. Jika Alia tidak pernah hadir dalam hidupnya, dia tidak akan menyadari perbedaan yang ada. Nada bicara Alia yang selalu ceria, jahil, menggoda, terkadang terdengar kebingungan, terkadang antusias, perintah yang baik dan jelas, jauh berbeda dengan Danastri.
Danastri yang datar, tegas, tahu memiliki kuasa, dingin, meremehkan, perintah yang bengis dan sempurna, jauh berbeda dengan Alia.
Kepercayaan diri yang berbeda terpancar dengan jelas. Raut wajah Danastri akan selalu kaku dan sinis pada setiap orang. Alia jauh lebih rileks dan mudah tersenyum basa-basi.
Ternyata rasanya jauh lebih sulit. Tidak ada sosok yang Bapak tinggalkan. Sedangkan Alia meninggalkan Danastri di sisinya.
"Ceritakan! Ceritakan bagaimana Alia!" Itu bukan permintaan. Itu adalah perintah.
Sisa sorenya itu dia habiskan dengan menceritakan Alia ke pada Danastri. Tentang apa-apa saja yang sudah dilakukan Alia selama di dalam tubuh Danastri. Tentang perbedaan mereka yang bertolak belakang. Tentang perubahan-perubahan yang sudah Alia perbuat sebagai Danastri.
Sisa sorenya itu dia habiskan dengan menahan kehampaan yang ada sejak berhari-hari lalu menjadi rasa sakit aneh di ulu hatinya.
"Saya ingat segalanya, Astaka. Saya ingat bagaimana kau bersikap. Saya ingat bagaimana kau memandangnya. Saya ingat bagaimana kau meladeninya. Segitu jatuh cintanyakah kau pada Aliamu itu?"
Cinta?
Cinta itu adalah yang pernah Alia tanyakan di dalam hutan. Cinta yang sama yang pernah Alia pertanyakan. Untuk siapa rasa yang ada pada diri Astaka? Untuk diakah? Atau Untuk Danastri?
Rasa yang pernah Alia tanyakan untuk dirinya sendiri. Tentang seseorang bernama Ruby.
Di dalam gelapnya hutan itu, Astaka tidak peduli. Astaka tidak peduli dengan apa yang Alia rasakan. Astaka tidak peduli jika memang rasa itu bukan untuk dirinya.
Alia di sana, di hadapannya, di dalam pelukannya.
Bahkan ketika dirinya dilingkupi amarah yang besar, setengah sadar karena kehabisan tenaga dan darah, kelelahan menahan seluruh rasa sakitnya, Astaka tetap tidak peduli. Dia tidak peduli jika ciuman terakhirnya di bibirnya malam itu, kata cinta yang pertama dan terakhir kali Alia ucapkan hanyalah basa-basi terima kasih.
Saat-saat itu Alia adalah miliknya.
Bahkan ketika Alia tidak ada lagi di hadapannya, tidak ada lagi di pelukannya, Astaka tetap tidak peduli. Dia tidak ingin repot mempertanyakan lagi cinta Alia.
Alia tidak akan pernah kembali lagi padanya. Tidak ada takdir lain yang dapat mempersatukan mereka.
Persetan apa yang Alia lakukan di dalam hidupnya. Persetan bersama siapa Alia dalam menjalani hidupnya.
Bagi Astaka Alialah yang ada di hidupnya meski dia tidak ada dalam hidup Alia. Sejak saat dia menemukan Alia duduk di tepi kolam malam itu hingga terakhir dia menyaksikan Alia berlari menjauhinya, Alia adalah miliknya.
Dan tetap akan menjadi miliknya sampai akhir hidupnya.
Egoiskah dia? Tidak. Dia melepas Alia seperti dia melepas bapak. Alia menjalani hidup sebagaimana dia harusnya hidup. Bahagia. Itukan yang selalu Astaka inginkan?
Astaka menoleh pada Danastri lalu tersenyum. "Pernahkah kau jatuh cinta, Danastri?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gone : Maliaza Ambaraningdyah
Historical FictionNOTE : Silahkah baca 'The Past Keeper' dulu yaa This one is kinda spin off maybe. Another story dari POV Alia, Ruby, Ghani, Astaka, dan Danastri sebelum, saat, dan setelah Alia pergi dan kembali. MUNGKIN JIKA ADA YANG BERMINAT BOLEH MAMPIR.