Papahnya memiliki banyak kuda dan tempat berlatih berkuda di sini. Ada villa milik keluarga tepat di sebelahnya. Ruby menjadi senang berkuda karena hal itu.
Alia, sahabat kecilnya berada ratusan kilometer jauhnya. Wanita itu menghabiskan libur semesternya dengan pulang kampung ke Magelang bersama keluarga besarnya.
Malam itu ia tertidur tepat setelah menerima telepon dari sahabatnya. Dia yang kini sedang berada di Bandung, menghabiskan libur seperti mereka menghabiskan liburan seperti biasanya.
"Abang."
Bahunya diguncang-guncang.
"Abang."
Ruby membuka mata dan mendapati adiknya duduk di tepi kasurnya. "Apa, Han?"
Ruby salah. Tidak Hansa di sampingnya.
"Abang."
Ruby terlonjak kaget. Itu bukan suara Hansa.
Dia duduk di atas tempat tidur. Kepalanya menoleh ke sana ke mari mencari sesuatu. Dia bahkan tidak ada di kamarnya.
"Abang Ruby." Suara itu berat dan dalam. Suara laki-laki dewasa.
"Abang Ruby." Suara papahnya.
"Abang? Abang? Abang Ruby? Ruby? Ruby?"
Bukan. Bukan suara Papah.
"Siapa?" Teriak Ruby.
Suara itu berhenti memanggilnya.Ruby ada di dalam ruangan besar yang gelap. Satu-satunya benda yang ada di dalam ruangan itu adalah tempat tidurnya.
Di satu sisi dinding terdapat jendela besar tanpa penutup. Dari jendela itulah cahaya berasal.
Bukan cahaya rembulan atau matahari. Ruby tidak tahu itu siang atau malam.
Cahayanya terang berwarna jingga.
Matahari sorekah? Pikir Ruby.
Ruby berjalan mendekati jendela. Tubuhnya terpaku memandang keluar.
Ada bangunan tepat di luar jendela. Bangunan yang berkobar dilalap api. Kobaran api itu begitu besar melahap semua bangunan di hadapannya. Anehnya, Ruby tidak merasakan panas.
Ia segera berlari menuju pintu dan membuka pintu kamarnya. Ruby berakhir di teras yang tidak dia kenal. Bukan villa tempatnya dan keluarganya menginap.
Langit sebenarnya gelap, sudah malam. Api yang berkobar besar di belakangnya membuat nyala terang yang membuat langit terlihat seperti senja.
Ruby berjalan dengan bingung menyurusi bangunan tempat kamarnya tadi.
Keadaan yang terjadi membuat Ruby bingung dan keheranan. Dia kini berdiri tepat di hadapan bangunan yang terbakar. Tidak dia rasakan panas sedikitpun.
Api hampir merambat ke bangunan di sebelahnya yang dibatasi dengan lorong sempit. Jauh di depan sana samar-samar dia melihat dua orang yang bergelut. Ruby tidak mengerti apa yang terjadi.
Sekelilingnya sepi sunyi tidak ada orang. Tidak ada orang yang berusaha memadamkan api. Ada kayu-kayu dan bambu yang berserakan di tanah yang menurut Ruby itu terlihat seperti obor. Satu gagang obor yang tergeletak di tanah masih.
"Oh my shit."
Ruby terlonjak kaget ketika melihat banyak bercak darah di tanah. Ada pedang-pedang tergeletak begitu saja bersimbah darah. Di sebelah genangan darah ada sebuah buruh panah dan beberapa anak panah yang berserakan.
Anehnya tidak Ruby merasakan takut sedikitpun. Dia sadar bahwa dia sedang bermimpi, mudah baginya untuk memaksa dirinya untuk bangun.
Ruby berjalan maju. Dia berdiri tepat di antara dua bangunan. Bangunan yang satu terlihat seperti gudang penyimpanan yang gelap dan penuh peti-peti barang, sedangkan bangunan sebelahnya terlalap api.
Keningnya berkerut dan matanya menyipit, berusaha melihat apa yang terjadi di depan sana. Apa yang terjadi dengan dua orang di lapangan itu.
Tidak dapat terlihat dengan jelas siapa mereka, yang pasti dua orang itu sedang berkelahi. Masalahnya adalah seorang bertubuh besar itu jelas bukan lawan yang seimbang bagi wanita kecil di hadapannya.
Ruby berbalik dan memungut busur panah dan tiga anak panah di tanah. Dia merasa mungkin sebaiknya ia bantu wanita itu. Mungkin juga tidak, kenapa pula ia harus mencampuri urusan orang lain.
Busur panah itu ia tarik ketika dilihatnya pria bertubuh besar di sana meraih leher wanita itu dan mengangkatnya dengan mudah dari tanah.
Dulu, selama dua setengah tahun ia penah masuk klub memanah hanya untuk formalitas ekstrakulikuler sekolah. Kalau bidikannya meleset mungkin dia malah akan mengenai orang yang salah.
SET!
Saamar-samar terdengar teriak kesaktan seseorang saat anak panahnya melesat. Wanita itu terjatuh kembali ke tanah, ia sempat memandang ke arah Ruby sebentar sebelum akhirnya berlari menjauh.
Pria bertubuh besar itu jatuh terduduk, ia menarik anak panah yang menancap dibahunya dengan mudah. Tangannya terulur untuk menarik pisau dan berbalik. Dia berlari ke arah Ruby.
Kenapa Ruby? Kenapa dia tidak lanjut untuk mengejar wanita yang berlari itu?
Tidak tahu berapa jauh jarak mereka, pria itu melempat pisaunya ke arah Ruby.
DUAKH!
Seseorang menabrak tubuh Ruby, menghindarinya dari lemparan pisau.
Sayangnya tubuhnya malah jatuh ke arah bangunan yang berkobar api.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gone : Maliaza Ambaraningdyah
Historical FictionNOTE : Silahkah baca 'The Past Keeper' dulu yaa This one is kinda spin off maybe. Another story dari POV Alia, Ruby, Ghani, Astaka, dan Danastri sebelum, saat, dan setelah Alia pergi dan kembali. MUNGKIN JIKA ADA YANG BERMINAT BOLEH MAMPIR.