Malam itu Danastri menangisi segala hal yang terjadi.
Semua hal yang terjadi dalam mimpinya adalah kenyataan. Semuanya. Dari dia berkuda, pergi ke pasar, ikut paman Purwanka mengunjungi dan mengantar bibit ke sawah dan perkebunan, kedatangan keluarga teman ayah, iring-iringan yang diserang perompak, ledakan besar yang membunuh ayah dan ibunya.
Histerisnya membuat kain penutup pintu yang tergantung di kusen pintu kamarnya lepas dan dia harus ditenangkan oleh Paman Purwanka.
Malam ini dia menangisi kematian kedua orang tuanya yang dia merasa dia tidak ada di sana. Sisanya dia menangisi Dewani atas apa yang sudah adik tercintanya lakukan. Menangisi kenapa Dewani melakukan hal gila tersebut.
Di luar kamarnya Cindhe, Bibi Sadah, dan Bibi Dasih bergantian mengetuk pintu kamar untuk membujuknya makan. Berkali-kali masih dia tolak untuk buka.
Sudah empat hari tiga malam dia menangis tiap malam, menolak bertemu orang pagi dan siang, sudah menutup jendela menjelang sore.
Sudah empat hari dia hanya makan sedikit-sedikit meski berkali-kali dibujuk oleh Bibi Sadah dan Bibi Dasih.
Danastri duduk di lantai bersandar pada peti pakaian sambil memeluk tubuhnya sendiri. Tenaganya sudah tidak ada lagi, air matanya sudah kering tapi dia masih menangis. Napasnya sesak bukan main.
Dari luar kamar masih terdengar suara Cindhe dan Bibi Sadah, masih membujuknya untuk membuka pintu dan makan.
Tubuh Danastri menegak, kepalanya terlempar ke belekang dan dia menarik napas panjang lalu menghembuskannya pelan-pelan. Dia berusaha mengatur napasnya sebaik mungkin.
"Ndoro Putri?"
Sampai suara di luar pintu kamarnya berubah. Tidak ada lagi suara Bibi Sadah dan Cindhe. Suara itu adalah suara yang dia dengar terakhir empat hari lalu saat dia baru saja terbangun dari tidur panjangnya.
"Danastri." Pintu kamar di ketuk tiga kali pelan-pelan. "Tolong buka pintunya! Kau mau makan bersama saya dan Cindhe?"
Dan Cindhe? Pikir Danastri.
Kapan dia pernah makan bersama dengan pelayan pribadinya itu? Kenapa harus ada kalimat bujukan seperti itu?
"Tolong, Ndoro Putri! Kasihan Bibi Sadah, Bibi Dasih, dan Cindhe begitu mengkhawatirkanmu." Dua kali pintu kamarnya diketuk hati-hati. "Saya temani kau makan. Kita ajak Cindhe sekalian seperti dulu."
Apa maksud omongan Astaka?
Dia ingat dia sering duduk bertiga di dalam kamarnya untuk makan pagi bersama Astaka dan Cindhe. Benarkah itu?
Benarkah saya mempersilahkan Cindhe duduk di samping saya? Memakan makanan yang sama di satu meja yang sama?
Bisakah dia mendapat penjelasan atas semua mimpinya? Bisakah dia mendapat penjelasan atas apa yang sudah terjadi pada hidupnya ketika dia mereka dia berada di dalam gelap gulita dengan layar bercahaya besar di hadapannya?
Danastri berdiri dan berjalan gontai ke arah pintu kamar. Tangannya terulur untuk membuka slot yang mengunci pintu sebelum menarik pintu itu terbuka.
Astaka berdiri terpaku di depan pintu kamarnya. Tubuhnya berdiri tegap dengan sebelah tangan terangkat bekas mengetuk pintu. Wajahnya terlihat kusam, matanya sayu dan lelah. Tidak ada lagi kilat waspada dan tegas di matanya, tidak lagi ada cahaya keberanian dan semangat di matanya.
Sosok yang sudah tidak dilihatnya selama empat hari belakangan kini berdiri di hadapannya. Sosok yang rasanya tidak lagi Danastri kenal.
"Saya panggilkan Cindhe untuk membawakan makanan, ya? Atau kau ingin duduk di ruang duduk untuk makan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gone : Maliaza Ambaraningdyah
Historical FictionNOTE : Silahkah baca 'The Past Keeper' dulu yaa This one is kinda spin off maybe. Another story dari POV Alia, Ruby, Ghani, Astaka, dan Danastri sebelum, saat, dan setelah Alia pergi dan kembali. MUNGKIN JIKA ADA YANG BERMINAT BOLEH MAMPIR.