Astaka

45 5 0
                                    

"HAH! HAH! HAH! HAH! HAH" 

Astaka bangun terduduk di atas dipan beralaskan tikar anyaman tipis. Matanya membelalak, napasnya terengah-engah, dadanya naik turun dengan cepat. Telinganya berdengung dan matanya berbayang.

Tangannya yang terulur digenggam erat oleh seseorang. Astaka meremas tangan siapapun yang ada di genggamannya. 

"Panglima."

"Astaka."

Dalam dengungan telinganya, Astaka dapat mendengar suara orang yang memanggilnya.

Tangan Astaka yang kosong terangkat untuk menekan telinganya kanan dan kiri bergantian hingga dengungnya hilang. 

"Kau baik-baik saja, Nak?" 

Astaka merasakan tubuhnya basah bersimbah keringat. Seseorang mengusap punggung, leher, dan pelipisnya menggunakan handuk lembab. 

"Astaka?"

Astaka menarik napas panjang sebelum menegakan tubuhnya. Dia mengedipkan matanya beberapa kali sebelum melihat sekeliling. 

Dia terbangun di dalam kamar yang bukan kamarnya. Kamar sederhana dengan dipan dan sebuah peti pakaian di samping dipan. Di atas peti itu terletak segelas air.

Jendela kamar yang terbuka menunjukkan pohon-pohon tinggi. Pemandangan yang seharusnya tidak terlihat dari kamarnya. 

Bibi Sadah dan Yugala ada di sampingnya. Memandang Astaka dengan pandangan menyelidik khawatir.

Astaka menunduk melihat ke pangkuannya. Bibi Sadah menggenggam tangannya sementara Yugala mengusapkan handuk basah ke beberapa bagian tubuh Astaka.

Mata Astaka yang masih membulat kaget, seperti sedang mencerna keterkejutannya. 

"Kau baik-baik saja? Pelan-pelan! Nanti sakit. Tubuhmu penuh luka."

"NGH!" Astaka mengerang kesakitan setelah Bibi Sadah menyebut soal luka-lukanya. "AH!"

"Hati-hati! Kau ingin sesuatu? Minum?"  Bibi Sadah mengusap punggungnya yang terbalut kain perban.

"Alia." Bisik Astaka.

"Apa, Nak?" Bibi Sadah menyodorkan gelas ke hadapan Astaka.

Astaka menolak pelan-pelan gelas yang ditawarkan Bibi Sadah.

"Alia." Sekali lagi Astaka berbisik.

"Kau berimpi sesuatu? Ada apa?"

"Alia." Kali ini Astaka tidak ingin repot berbisik. "Alia."

"Alia siapa, Mas?"

"Danastri. Saya harus lihat Danastri." Astaka melepaskan tangan Bibi Sadah dan membawa tubuhnya ke tepi dipan. 

"Kang Mas, jangan!" Yugala menahan tubuhnya supaya tidak turun dari dipan.

"Tunggu-tunggu, Astaka!" Bibi Sadah berdiri dan untuk menghalangi Astaka. "Pelan-pelan! Danastri baik-baik saja."

Pintu kamar terbuka cepat dan berdirilah Ndoro Purwanka di depan pintu bersama Sura. Raut wajah meraka khawatir dan kaget.

"Kau sudah bangun, Astaka." Ndoro Purwanka berjalan mendekati Astaka. "Ada apa? Kenapa?"

"Astaka ingin menemui Danastri." Jawab Bibi Sadah.

Ndoro Purwanka berjalan masuk dan duduk di samping Astaka. Tangan yang mulai keriput itu terulur untuk memeluk tubuh Astaka. Ndoro Purwanka mengusap dan menepuk pelan bahunya.

"Danastri baik-baik saja. Dia ada di rumah atas. Belum sadar tapi dia baik-baik saja sejauh ini." 

Suara Ndoro Purwanka berhasil menenangkannya. Astaka duduk dengan lebih rileks dan kembali merasakan sakit di tubuhnya.

"Sudah kau tenang! Perhatikan dirimu sendiri dulu. Jangan pikirkan hal lainnya." Tangan Ndoro Purwanka meraih gelas dari tangan Bibi Sadah. "Minum."

Astaka menyadari tangannya gemetar tidak tahu karena apa. Sakit ditubuhnya yang sedari tadi dia tahan, mungkin. Bisa jadi karena dia merasa waspada dengan keadaan yang sekarang. Atau mungkin dia terlalu mencemaskan Alia. 

Di pikirannya saat ini hanyalah Alia. Apa yang terjadi pada Alia? Apa yang sudah Alia lewati? Apakah dia benar baik-baik saja?

Di dalam ingatannya hanya ada sebuah kekacauan besar, banyak darah di mana-mana, ada kobaran api besar.  Di dalam ingatannya tiba-tiba ada amarah besar ketika dia melihat Panglima Besar Lawana sedang berada di atas tubuh seseorang.

Danastri.

Alia.

Alia menangis sambil berusaha memberontak membebaskan diri.

Detik berikutnya tubuhnya bergerak di luar kendali. Tangannya begitu saja meraih kayu bakar besar dan memukul keras-keras kepala Lawana. 

Sisa tenaganya mungkin sudah tidak banyak lagi. Dia terjatuh berlutut menyaksikan Lawan terguling dengan kepala berdarah. Sebelah tangannya menarik Alia mendekatinya. Dia menyerahkan belati ke tangan Alia dan memintanya untuk pergi.

Astaka ingat dengan pandangan matanya yang sudah buram dia melihat pantulan cahaya berwarna biru. Awalnya dia pikir itu adalah api obor yang terpantul di batu belati.

Ketika Alia setengah membungkuk di hadapannya, memeluk, dan menciumnya untuk yang terakhir kali, Astaka sadar pantulan cahaya biru itu bukan berasal dari belati tapi dari mata Alia. Mata Danastri yang seharusnya berwarna cokelat gelap.

Setelah itu dengan sisa tenaganya yang tidak seberapa itu dia bertarung melawan seniornya sendiri, Kang Mas Lawananya. Pria yang badannya mungkin setengah kali lebih besar darinya, pria yang tenaganya lebih banyak darinya, pria yang kemampuan bertarung dan pengalamannya lebih banyak darinya.


Ingatannya tentang cahaya biru itu membuatnya tidak sabar dan khawatir. 

Kenapa tiba-tiba mata Danastri muncul kilatan warna biru?




"Dan yang paling penting warna mataku biru."

"Seperti langit?"

Alia tertawa pelan sebelum menjawab, "Seperti laut." Dia peduli tahu atau tidak saya dengan laut.

"Biru, gelap, dan dalam?" Perbatasan selatan tempat tamu-tamu asing itu datang dari laut.

"Ya, seperti itu." Alia berbisik tepat di depan bibir saya sebelum saya sempat sadar bahwa saya sudah menyentuh bibinya dengan bibir saya.






Gone : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang