Alia diam. Tidak menjawab apapun pertanyaan atau pemintaan om Erwin. Jawabannya sudah jelas. TIDAK. Alia tidak siap untuk menangis lagi. Tidak siap untuk menangisi orang-orang yang sebenarnya tidak pernah hadir dalam hidupnya.
"Dia anak baik. Dia selalu menjadi anak yang amat sangat baik. Tidak pernah terbayang untuk om punya anak seperti dia. Bahkan saat dia kecil, ketika om harus pergi-" om Erwin berhenti. Ia menarik tubuhnya dan bersandar sambil menarik napas panjang.
"Umurnya masih tujuh tahun. Om rasa dia belum mengerti. Malam itu kami tidur besama, om peluk dia semalaman sebelum pergi besok paginya." Om Erwin berhenti dengan suara bergetar.
Mata Alia mulai basah.
"Om tidak yakin bisa menawarimu untuk mengirim surat seperti om mengiriminya surat. Kita berlainan."
"Mungkin kalau kamu bersedia bercerita tentang apa yang kamu alami, mungkin kamu bersedia menceritakan sedikit saja tentang dia, mungkin om tahu jalan keluarnya, mungkin kamu bisa mengiriminya surat."
"Sebut, om." Kata Alia hampir marah. "Sebut namanya."
Om Erwin menggeram frustasi. Pria itu mengusap wajahnya.
"Kenapa om harus menghindari menyebut namanya?"
"Om terpaksa. Om juga tidak ingin meninggalkan dia. Tidak pernah. Om selalu berusaha mencoba menggapainya, tapi takdirnya bukan seperti itu, Al."
Banyak hal yang ingin Alia tanyakan. Dia pertimbangan apakah harus ia tanyakan pada Arief Sadana Ghani atau ia tanyakan saja pada om Erwin?
"Dia pernah mengatakan pada ibunya bahwa saat dia dewasa, dia akan pergi mencari bapaknya. Ibunya melarang dengan mengatakan kalau dia tidak akan pernah bisa menemukan bapak."
"Dia-" Mendadak, Alia juga menolak untuk menyebutkan nama Astaka. "Dia terlalu tertutup tentang perasaannya."
Ada suara tawa pelan dari om Erwin. Kepalanya mengangguk pelan. "Dia masih begitu sampai dewasa, ya?"
Apa lagi yang harus Alia ceritakan tentang Astaka? Layakkah om Erwin mendengar kabar tentang 'anaknya' yang ia tinggal?
Beberapa menit sunyi, tiba-tiba dari kejauhan ada cahaya senter lagi. Mereka sama-sama menoleh ke arah jalanan atas.
Kali ini hanya ada satu senter yang mendekat. Hanya ada satu sepeda yang datang. Sepeda itu berhenti di depan jalanan rumahnya.
Sepeda itu membunyikan bel sekali sebelum berbelok memasuki pekarangan rumah. Sampai di depan rumah berdirilah seorang pria yang Alia lihat tadi siang, paman Tofik.
"Maaf, mengganggu malam-malam."
"Ingin bertemu, Al?" Om Erwin berdiri dan menuruni undakan tangga untuk memberi salam pria tua itu.
Paman Tofik tersenyum lebar dan penuh keyakinan. "Al." Bisiknya membuat Alia curiga.
"Ada sesuatu yang harus saya kembalikan." Kata paman Tofik. "Saya menuju ke masjid untuk sholat tahajud dan berniat mengembalikan pagi ini selesai sholat subuh."
Alia ikut melangkah untuk berdiri di undakan tangga paling atas. "Silahkan duduk, Paman."
Mereka bertiga duduk bersama di kursi teras.
"Kau belum tidur?"
Alia menggeleng sambil mematikan sisa rokok di sela jarinya.
Paman Tofik merogoh tote bagnya, mengeluarkan sebuah kotak dari dalam tasnya. Sebuah kotak kayu pria itu letakkan di atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gone : Maliaza Ambaraningdyah
Historical FictionNOTE : Silahkah baca 'The Past Keeper' dulu yaa This one is kinda spin off maybe. Another story dari POV Alia, Ruby, Ghani, Astaka, dan Danastri sebelum, saat, dan setelah Alia pergi dan kembali. MUNGKIN JIKA ADA YANG BERMINAT BOLEH MAMPIR.