Gang dan perumahan di sekitar sebuah universitas negeri di Bogor dipenuhi kos-kosan dan rumah-rumah kontrakan untuk mahasiswa.
Salah satu gang dengan lingkungan yang mendukung. Jalannya hanya cukup untuk dilalui satu mobil, saluran air di kanan dan kirinya terawat, rumah-rumah dan pinggir jalan dipenuhi tanaman hias.
Sepanjang gang ada beberapa rumah makan dan warung kopi yang sangat mendukung untuk mahasiswa. Warung-warung sembako juga ada beberapa di lingkungan tersebut.
Sebuah motor bebek berhenti di depan rumah bertingkat empat berwarna kuning pudar. Pengendaranya berhenti untuk membuka pintu pagar dan memasukan motornya ke halaman teras rumah.
"Ghani, belum pulang kampung kamu?" Seorang pria tua yang sedang merokok di teras rumah setengah berteriak pada pria yang baru masuk.
Ghani melepas helm yang dikenakannya. "Tidak, pak." Katanya sambil menggeleng. "Orang tua dan adik saya yang akan ke sini. Mau liburan di pulau Jawa katanya."
Tote bag biru dengan merk minimarket terkenal berisi belanjaan ia ambil dari stang motornya dan ia bawa naik menuju kamar.
Langkahnya cepat menaiki tangga menuju kamarnya di lantai tiga.
Sebuah jam tangan digital di lengan rkirinya berkedip-kedip dan berbunyi bip-bip. Angka di jam tangannya menunjukan pukul 09:35 pm.
Malam ini tidak terlihat bulan dan bintang di langit. Mungkin mendung. Hawa dingin dan angin berhembus cukup kencang.
Ghani mengeluarkan kunci kamarnya dari dalam saku jaket dan membuka pintu kamar bertuliskan "3.2".
Kamar kos yang sudah ia tinggali selama dua tahun berukuran 3x3 meter. Ada kasur di pojok, kipas dinding di hadapan kasurnya, sebuah meja rendah panjang ada di samping pintu tempat peralatan masaknya di simpan. Meja kerja dengan rangkaian komputer dan laptop yang tertutup ada di hadapan pintu. Lemari plastik biru berada di samping kasurnya.
Bunyi hexos terdengar ketika ia menekan dua saklar, sekalian untuk menyalakan lampu.
Ghani meletakkan tas belanjanya di lantai di dekat meja rendah. Ia melepas jaket yang dikenakannya dan duduk di meja kerja. Laptop hitam di atas meja disingkirkannya untuk meraih keyboard komputer.
Layar komputernya menyala, menampilkan dokumen serupa artikel bacaan beserta gambar-gambar.
Artikel itu dibacanya dengan hati-hati dan seksama. Pelan-pelan ia telusuri dari atas hingga bawah sebanyak tujuh belas halaman.
Gambar yang menarik perhatian di dalam artikelnya adalah gambar-gambar rumah kuno, kereta kuda, pelabuhan dan ombak besar, serta orang-orang berpakaian lama.
Di dalam komputernya, Ghani membuka dokumen lain. Sebuah peta pulau jawa terpampang di layar komputer, dengan satu pin berwarna merah di tengah-tengah pulau jawa, satu pin biru di pesisir selatan, dan pin hijau di pulau bali.
Ghani kembali ke dokumen sebelumnya dan membacanya ulang dari awal.
Pojok kanan bawah layar komputernya menampilkan angka 23:45 ketika Ghani menutup semua dokumennya lalu mematikan komputer.
Saklar lampu di samping pintu di tekan dan seketika ruangannya gelap. Ghani berjalan berlahan mendekati kasur untuk mulai tidur.
.
Tidak tahu berapa lama ia tertidur, Ghani terbangun karena ketukan di pintu kamarnya.Ghani terbangun dengan tubuh berkeringat. Kipas angin di hadapan kasurnya seperti tidak menyala. Tubuhnya ia angkat hingga duduk bersila di atas kasur.
Cahaya remang-remang dari luar kamar menerobos masuk melalui ventilasi di atas pintu.
TOK! TOK! TOK!
"Ya!" Saut Ghani saat ketukan di pintu kembali terdengar.
Dibawa bangun tubuhnya dari kasur lalu berjalan menuju pintu. Slot kunci pintu kayu di hadapannya ia tarik sebelum menarik pintu hingga terbuka.
"Ya?"
"Mereka sudah datang. Bersiaplah, Parwoko!" Kata seorang pria di hadapannya dengan bahasa jawa halus yang tidak tahu bagaimana ia bisa mengerti.
Parwoko? Bisik Ghani pada dirinya sendiri.
Ghani kembali menutup pintu kamarnya. Jam tangan di lengan kirinya ia lepas lalu disimpan dalam saku celana yang dikenakannya.
Ghani / Parwoko mengambil sebuah tas kecil lalu ia ikat di pinggangnya. Saat membuka pintu lebar-lebar dan cahaya matahari menyeruak masuk, Ghani dapat melihat kamarnya hanya terdiri dari sebuah dipan dilapisi tikar tipis dan sebuah meja kecil di sebelahnya. Dinding kamarnya setengah adalah kayu di bagian bawah dan anyaman bambu rapat di atasnya. Pintu kayunya tipis dan berbunyi ketika dibuka.
Langkahnya membawa Ghani menyusuri jalanan menurun. Angin yang berhembus terasa lembab dan asin. Ghani dapat mencium bau amis yang khas sepanjang jalan.
Di bawah sana terlihatlah bentangan laut yang tak terlihat ujungnya.di pelabuhan terparkir 3 kapal besar dengan bendera Inggris dan typograph bertulisan 'The Dussel's' di badan 3 kapal.
Dussel.
Ghani terus berjalan hingga sampai di pelabuhan. Ia berdiri di samping dua pria lainnya. Salah satunya yang membangunkan tidurnya tadi.
Di hadapan mereka berdiri enam orang pria menggunakan celana hitam, bertelanjang dada, dan tersampir kain batik mahal di bahu mereka. Seorang pria berkumis yang berdiri di paling depan memiliki tubuh kurus yang tinggi. Senyumannya hangat dan bersahabat mengobrol bersama orang lain.
"Ndoro Purwanka, ini Darto, Wiguno, dan Parwoko. Mereka yang akan jadi penerjemah para pendatang." Seorang pria gemuk memperkenalkan Ghani dan dua orang di sampingnya.
Pria berkumis bernama Purwanka itu tersenyum lalu mengulurkan tangan pada satu-satu dari mereka.
"Terima kasih, ya."
"Darto, Wiguno, Parwoko." Pria gendut itu memanggil mereka. "Ini Ndoro Purwanka. Adik terakhir Paduka Karkasa. Beliau yang akan menerima tamu-tamu kita kali ini."
"Dan Panglima Astaka."
Astaka?
Seorang pria tinggi bertubuh besar tidak jauh dari Ndoro Purwanka berdiri sedang memandang tajam ke arah kapal-kapal yang berlabuh menoleh ke arah Purwanka dan menatap satu per satu Darto, Wiguno, dan Ghani / Parwoko.
"Astaka." Panggil Purwanka.
Pria itu lalu mengangguk singkat.
Diakah? Tanya Ghani dalam hati.
Pria besar bernama Astaka itu terlihat tidak asing baginya. Ghani seperti mengenal atau setidaknya pernah melihat pria itu dikehidupan sehari-harinya.
Tidak berapa lama kemudian, dari arah kapal turun sekelompok orang berkulit putih dan beberapa dari mereka memiliki rambut pirang. Dibelakang orang-orang itu ada pekerja yang membawa peti-peti barang dari kapal.
Sebagian besar dari mereka memandang tidak suka pada mereka yang dipekerjakan untuk membawa barang-barang mereka. Memandang tidak suka pada mereka yang berdiri di hadapannya.
Ghani menangkap seorang pria yang berdiri agak ke belakang. Ia melihat sekelilingnya penasaran, ada senyum tipis di wajahnya. Pria itu membawa sebuah teropong kecil untuk ia biaa memandang jauh ke atas bukit di belakang Ghani berdiri.
Safield Dussel. Bisik Ghani saat melihat pria kulit putih berambut cokelat terang panjang yang memegang teropong itu.
Jadi yang mana? Safield Dussel atau Panglima Astaka? Ghani bergantian melihat dua pria yang kini berdiri saling berhadapan. Saling mengulurkan tangan dan berjabat.
Tidak. Bukan keduanya. Dia belum menemui satu nama lagi yang tercantum dalam artikel yang dibacanya sebelum ia tertidur.
Danastri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gone : Maliaza Ambaraningdyah
Historical FictionNOTE : Silahkah baca 'The Past Keeper' dulu yaa This one is kinda spin off maybe. Another story dari POV Alia, Ruby, Ghani, Astaka, dan Danastri sebelum, saat, dan setelah Alia pergi dan kembali. MUNGKIN JIKA ADA YANG BERMINAT BOLEH MAMPIR.