Alia

56 5 0
                                    

"Lia."

Nenek Aida duduk di ruang tamu bersama Papih, dua om dan dua tantenya. Di hadapan mereka duduk seorang pria tua dan wanita di sampingnya. 

Tanpa disuruh, Alia meletakkan piring puding di tangannya di atas meja. Tubuhnya ia bawa berjongkok hampir bersimpuh ke dekat dua orang tamu. 

Alia sebenarnya punya adat dan sopan santun yang turun menurun dari keluarganya. Sikap itu hanya ia tunjukan di depan tamu dan orang asing.

"Alia." Kata Alia memperkenalkan diri.

"Dussel?"

Alia tersenyum kecil lalu mengangguk.

Ada setidaknya tiga nama yang akan orang sebut ketika betemu keluarganya. Dussel, Rajaswara, atau Pranu.

"Li, ini paman Tofik dan bibi Harti. Mereka yang membantu kita mengurus perkebunan."

Wanita yang mengenakan gamis biru dan kerudung hitam itu mengelus bahunya lembut. "Cantik sekali."

Alia sekali lagi tersenyum lalu berjalan mundur. Ia mengambil kembali piring pudingnya untuk ia bawa keluar dan duduk bersama Ruby.

"Duduk sebentar, Ndok."

Alia menoleh pada Papihnya dan memasang wajah menolak.

"Sebentar saja."

Dimas dan Jehan yang harusnya duduk di sini. Dua bajingan itu malah kabur?

Sepupu-sepupunya yang lebih tua sudah pernah mendapat giliran untuk duduk di hadapan advokad, pengacara, dan pengurus perkebunan. Sekarang harusnya giliran Jehan, Dimas, dan sepupu lainnya yang lebih tua untuk duduk di sini.

Alia duduk di sofa kecil, melipat kaki kanannya ke atas kaki kiri. Kedua tangannya ditumpuk di atas pangkuan. Alia duduk dengan anggun dan bekelas seperti Alia pada umumnya dihadapan tamu keluarga.

Sikap anggun dan berkelas yang tidak sesuai jika ditempatkan di tubuh Danastri. Seorang putri yang penuh sopan santu, anggun, dan adat istiadat khas Jawa.


Alia duduk di sana bermenit-menit tanpa minat menyimak bembicaraan orang-orang tua yang duduk di hadapannya. 

"Ruby." Alia memanggil Ruby dengan suara sekecil mungkin.

Dia sadar pria tua yang duduk di dekatnya menoleh ke arahnya. Pria itu mengikuti pandangan Alia.

Tangannya terangkat melambai pada Ruby dan memanggilnya untuk ikut duduk di sampingnya. 

Pria itu tanpa ragu berjalan mendekat. Dia memberi senyum dan salam singkat sebelum duduk di samping Alia. Duduk berhimpit di sofa kecil bersama Alia.

Sesuatu yang tidak pernah dilakukan Astaka. Tidak di depan umum.

"Tadi gua ambil puding, tapi dipanggil terus suruh duduk di sini." Bisik Alia.

Mereka berdua memakan puding itu dalam diam. Tidak ingin tahu dan mengganggu perbincangan serius orang-orang di hadapannya.

"Pacarnya?"

Tangan Alia yang sedang menyendok puding berhenti bergerak. Ia mengangkat kepalanya dan mendapati bahwa hanya tersisa Papih dan tantenya serta dua orang tamu yang duduk di hadapannya.

Alia tersenyum canggung sedangkan Ruby berpura-pura tidak mendengar.

"Ini Ruby." Kata Alia

Baru saat itulah Ruby mengangkat kepalanya dan tersenyum sambil mengangguk. 

Paman Tofik memandang Ruby lama-lama dari atas hingga bawah. Pria itu memandang Alia sekilas sebelum kembali memulai pembicaraan dengan Papih dan tantenya.

Gone : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang