Danastri

36 7 0
                                    

Danastri sudah kehabisan air mata. Dia sudah lelah menangis berhari-hari lamanya. Sudah tidak ada lagi air mata yang bisa ia keluarkan. 

Di mata orang-orang Danastri sudah kembali menjadi dirinya semula. Tukang perintah, sinis, segala hal yang dilakukan di hadapan Danastri harus sempurna. 

Tidak ada lagi Danastri yang murah senyum, menyapa semua orang, mengajak orang-orang makan, mau mengobrol bersama pelayan dan pengawalnya. 


Danastri sendirian di dalam ketika Cindhe mengetuk pintu kamarnya yang terbuka dan tertutup gorden tipis. Gadis muda itu membawa sebuah kotak kayu di pelukkannya.

"Ada apa?" 

Cindhe duduk di laintai di samping dipan Danastri. Dia meletakkan kotak kayu yang dibawanya di hadapan Danastri dan mendorongnya mendekat.

"Saat itu Ndoro Ajeng pernah mengatakan pada saya untuk memberikan kotak ini jika suatu hari saya merasa Ndoro berubah."

Danastri memandangi kotak itu sebentar lalu beralih pada Cindhe. "Apa ini?"

"Saya tidak tahu. Ndoro memasukan banyak barang-barang ke dalamnya."

Danastri meraih kotak itu dan memandangi bagian luarnya. 

Pintu kamarnya diketuk lagi. Astaka berdiri bersandar pada kusen pintu memandangi Danastri dan Cindhe.

"Sudah malam. Pulanglah, Cindhe!"

Cindhe berdiri sambil menepuk-nepuk bagian belakang kainnya bekas duduk. 

"Ndoro butuh sesuatu yang lain sebelum saya pulang?"

Danastri menggeleng.

"Saya di ruang duduk kalau kau butuh sesuatu." Kata Astaka.

"Tidak apa. Pulanglah! Istirahat!" Jawab Danastri.

Astaka mengucapkan selamat malam lalu menutup pintu.


Lampu Minyak yang ada di atas meja di samping dipannya ia tarik mendekat. Danastri duduk di atas dipan menghadap ke meja. Kotak kayu yang diberikan Cindhe ia letakan di atas meja dan mulai membukanya. 

Ada beberapa ikat bunga yang sudah dikeringkan di dalam kotak. Berbagai ragam bunga dan daun diikat menjadi satu. Ada pembungkus kulit cokelat tipis dan setumpuk kertas. dua kotak kayu kecil, dan sebuah buku dengan sampul kulit tebal dan ukiran namanya di sampul bagian depan.

Danastri membuka salah satu kotak dan mengeluarkan sebuah bros. Ada sebuah bros cantik terbuat dari tembaga gelap yang ditengahnya ada sebuah batu oval biru besar. batu oval itu dikelilingi ranting yang ada bunga-bunganya yang di tengah bunganya ada batu-batu kecil berwarna hijau.

Satu kotak lagi dia buka dan Danastri mendapati sepasang anting. Anting yang sangat dia kenal. Anting biru sebentuk tetesan air. 

Ada setumpuk kertas-kertas dengan tulisan jelek dan bahasa asing. Tulisan itu ditulis dengan huruf latin, bukan dalam bentuk aksara.

Salah satu kertas tertera namanya. Danastri mengambil kertas itu dan membacanya. 


"Alia." Bisik Danastri. "Alia Ambar."

Danastri ingat siapa Alia. Wanita cantik yang datang di mimpinya. Wanita cantik yang berhasil membuat Astaka memohon-mohon di kakinya.

Alia, wanita yang selama ini ada di tubuhnya. Wanita yang selama ini menjalani hidupnya. Wanita yang selama ini menunggangi kuda, mengunjungi dan beramah-tamah dengan warga, berlatih bela diri menggunakan belati. 

Wanita yang selalu ditatap Astaka penuh kasih. Tatapan yang tidak pernah Danastri lihat seumur hidup Astaka. 

Tiba-tiba dia teringat sesuatu yang pernah ditunjukan Bibi Dasih. Danastri merasih laci meja dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. Sebuah belati yang terbungkus sarung kulit cokelat tebal. 

Dia dapat mengingat latihan-latihan yang diberikan Astaka.


"Safield? Safield Dussel." 

Seorang pria muda dengan rambut cokelat terang dan bermata biru. Kulit putihnya selalu berwarna kemerahan di bawah terik matahari. Pria yang berbicara perlahan dan terbata-bata. Pria yang suara tawanya menghangatkan. Pria yang selalu antusias.

Danastri mengambil bros berbentuk oval. Bros cantik yang ketika di arahkan ke lampu batu di tengahnya membiaskan cahaya yang indah.

Ada setumpuk kertas berisi kata-kata bahasa asing dan artinya. Alia ingin dia mempelajari bahasa Safield.

"Pergi?" Bisik Danastri. "Mungkin Alia benar. Saya harus pergi dari tempat ini."

Sekarang Danastri memahaminya. Dia paham mimpinya selama ini. Dia dapat memahami alasan perubahan Astaka.

Di dalam kotak kayu paling bawah ada sebuah buku tebal. Danastri mengeluarkan buku itu sambil meraba ukiran namanya. Lembar demi lembar dia buka dengan cepat dan dia langsung bisa mengetahui bahwa itu adalah kumpulan cerita dari ayahnya, Paduka Karkasa.

Sampai di sampul belakangnya, Danastri menyadari ada ukiran nama lain di bagian pojok bawah. 

'Alia'.

Diukir secara berantakan.

Ada sampul kulit tipis yang belum Danastri buka. Dia meraih sampul itu dan hati-hati membukanya. 

Ada sebuah lukisan. Seorang wanita di dekat batu besar di tengah sawah. Jauh di belakang sana terlihat puncak gunung. Di belakang lukisan itu tertulis nama 'Astaka' menggunakan huruf latin.

"Astaka?"

Seumur hidupnya Danastri bahkan tidak tahu  kalau Astaka bisa melukis. Lukisan ini hampir sama realisnya dengan lukisan-likusannya yang mungkin kini sudah musnah.

Danastri dapat mengingat, di dalam mimpinya Astaka bukan menjadi Astaka yang dia kenal. 




Waw!!! Ternyata draftnya sudah lumayan banyak. Saya tidak sadar. Artinya saya sedang melarikan diri dari dunia nyata. 

Terima kasih atas segala supportnya.

Stay safe, happy, and healthy all!

Gone : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang