Sudah seminggu lebih Safiled datang kembali. Kembali bersama penerjemahnya, Parowoko. Atau Arief Ghani? Siapapun nama yang pernah dia sebutkan. Pria itu mengenal Alia.
Pagi ini, Parwoko mendatanginya. Dia mengatakan kalau dia ingin pergi. Beberapa hari sebelumnya mereka mengobrol dan berbicara. Parwoko mengatakan kalau dia harus pergi dari sini, pulang kembali ke rumahnya.
Ke tempat di mana Alia juga berada.
"Saya antar kau sampai pelabuhan nanti siang."
Perpisahan yang lumayan panjang. Banyak orang yang mengantar dan menyaksikan Parwoko pergi. Terutama Safield. Pria itu memeluknya lama, menepuk punggungnya dan berbicara panjang lebar.
Astaka bahkan melihat Danastri menyalami Parwoko, ntah berbisik dan mengatakan apa. Dia tidak tahu apakah Danastri tahu soal Parwoko atau tidak.
Perjalanan berjam-jam yang panjang. Sesekali beristirahat untuk makan, minum, dan buang air. Perjalanan panjang yang menemukan tujuannya ketika gelap.
Dari tempatnya berdiri dia bisa mendengar deburan ombak. Ada satu rumah yang terang benderang di atas pelabuhan. Astaka berjalan menghampiri rumah itu, mengetuk pintu rumahnya, dan keluarlah seorang pria tua.
Kepala pelabuhan berdiri di hadapannya. Gendut dan berkumis tebal.
Astaka meminta satu kamar kosong untuk tinggal Parwoko satu malam ini.
""Jika butuh sesuatu, kau bisa datang ke pos jaga di sana." Kata kepala pelabuhan sambil menunjuk sebuah bangunan kayu di belokan jalanan menurun menuju pelabuhan.
"Terima kasih." Kata Parwoko.
"Mari Panglima."
Kepala pelabuhan pergi meninggalkan mereka berdua.
Parwoko sudah membawa masuk barang-barangnya ke dalam kamar. Kini mereka berdiri berhadapan. Astaka di luar kamar, dibawah sinar terang obor. Parwoko di dalam kamarnya yang gelap.
Ghani mengangguk. "Sekali lagi terima kasih, Astaka."
"Hati-hati! Senang bisa mengenalmu." Astaka tersenyum lebar. Tangannya terulur menepuk bahu Ghani. "Selamat tinggal, Ghani."
Astaka berbalik dan berjalan pergi. Terdengar pintu tertutup dan terkunci.
Ghani sudah pergi. Dia berpikir apakah ini waktu yang tepat bagi dia untuk pergi juga?
Tubuhnya sudah pulih sempurna. Beberapa luka di tubuhnya mungkin masih diperban tapi rasanya sudah sembuh sempurna.
Siapa yang harus dia ajak bicara pertama kali ketika pulang? Siapa yang harus dia beri tahu bahwa dia akan pergi?
.
Pada suatu malam. Astaka duduk di ruang tamu Rumah Perintah. Tempat di mana kejadian buruk dan menjijikan terjadi. Darah dan mayat bergeletakkan di mana-mana.
Dibersihkan dengan cepat dalam waktu dua hari. Tidak ada lagi tubuh kaku tak bernyawa, tidak ada lagi darah, tidak ada lagi bau-bau amis dan busuk.
Di hadapan Astaka duduk Ndoro Purwanka.
Beberapa menit lalu Astaka baru saja mengatakan bahwa akhirnya dia memutuskan untuk pergi. Mungkin dia tidak tahu ke mana, tapi sepertinya jauh ke arah barat menjanjikan.
Ndoro Purwanka menghela napas.
"Terdengar bagus."
"Apa yang harus saya lakukan? Apa yang harus saya persiapkan?" Tanya Astaka.
"Tergantung bagaimana kau mau pergi? Bersama Banu?" Ndoro Purwanka menyesap teh hangatnya.
"Tentu." Jawab Astaka cepat. "Kalau tidak bersama Banu saya tidak tahu bagaimana saya bisa pergi."
"Lakukanlah! Bawa sedikit barang-barangmu, kami akan menyiapkan bekal. Atau kau mau banu menarik gerobak atau dokar?"
Astaka menggeleng. "Banu tidak dilatih untuk itu. Dia akan mengamuk."
.
Di sinilah dia berdiri sekarang. Di hadapan Danastri malam-malam. Belum malam sebanarnya, matahari masih tersisa sedikit di balik gunung. Butuh beberapa hari bagi Astaka untuk mempersiapkan diri berbicara pada Danastri.
"Sudah hampir gelap. Ada apa?"
Safield baru saja pergi meninggalkan Danastri sendirian. Tentu saja setelah seharian mereka bersama tidak tahu melakukan apa.
"Ehkm," Astaka melihat sekelilingnya. "ada yang harus saya bicarakan."
"Hm. Bicaralah!"
"Saya ada rencana untuk pergi, Astri."
"Ouh?" Danastri mengerutkan keningnya, memasang raut wajah bingung. "Kemana? Berapa lama?"
"Tidak. Maksudnya tidak tahu kemana." Astaka menggeleng. "Maksudnya saya akan pergi dari sini. Tidak tahu ke mana yang pasti tidak di sini lagi. Berapa lama juga tidak tahu, mungkin saya tidak akan kembali." Tambah Astaka.
Danastri diam. Dia memandang Astaka masih dengan raut wajah terkejut dan kebingungan.
"Apa?"
"Saya akan pergi. Pergi dari sini." Jawab Astaka. "Saya akan melanjutkan hidup di tempat lain. Mungkin jauh dari sini."
Sekali lagi Danastri diam.
Dari sisa cahaya matahari di balik gunung. Astaka dapat melihat sebagian wajah Danastri yang terkena sinar matahari.
Kulit wajahnya yang cokelat dan bersih, pipinya tirus, hidung kecil, mata bulat dan cokelat gelap. Di dalam binar matanya itu Astaka sekilat dapat melihat kilat khawatir dan takut.
Astaka dapat melihat kilat yang sama saat Alia tahu bahwa dia akan pergi bersama Ndoro Purwanka mengantar rombongan The Dussel's ke pelabuhan selatan. Mengetahui bahwa Astaka akan meninggalkannya sendiri.
"Kenapa?" Bisik Danastri lirih.
"Tidak ada alasan. Tidak ada alasan saya pergi. Tidak ada alasan juga saya tinggal. Astri, kau masih memiliki segalanya di sini. Mungkin tidak ada lagi ayah dan ibumu, tapi kau masih memiliki rumah." Kata Astaka.
"Bukan soal tempat, tapi orang-orang. Jangan tersinggung!" Tambahnya. "Kau memiliki arti yang begitu besar dalam hidup saya. Kedua orang tuamu, Ndoro Purwanka, banyak orang di sini berarti besar bagi saya."
"Tapi saya tidak bisa seperti ini terus. Saya datang bukan hanya untuk menjadi temanmu, tapi juga sebagai pengawalmu. Saya dilatih bertahun-tahun untuk itu. Menurutmu sekarang semuanya sudah selesai? Saya tidak lagi memiliki kewajiban untuk itu, kan?"
"Tapi, bagaimana jika orang-"
"Pergi."Kata Astaka sebelum Danastri menyelesaikannya. "Mungkin Alia benar. Mungkin tempat ini bukan lagi tempat yang tepat untuk kau hidup bahagia. Semua tergantung keputusanmu. Kau yang berhak memutuskan hidupmu sendiri."
"Saya tidak berhenti menjadi temanmu. Saya hanya berhenti menjadi pengawalmu. Kita bisa tetap berkirim surat. Saya akan tetap mengirim surat padamu. Kau juga, kau harus memberi tahu saya kalau kau memutuskan untuk pergi."
Astaka sadar bahwa mata Danastri sudah berkilauan basah sejak lama. Akhirnya tumpah menjadi air mata. Wanita itu menunduk dan menangis hingga bahunya berguncang.
Tangan Astaka terulur untuk meraih bahunya dan memeluknya.
HEHEHE...
KAMU SEDANG MEMBACA
Gone : Maliaza Ambaraningdyah
Historical FictionNOTE : Silahkah baca 'The Past Keeper' dulu yaa This one is kinda spin off maybe. Another story dari POV Alia, Ruby, Ghani, Astaka, dan Danastri sebelum, saat, dan setelah Alia pergi dan kembali. MUNGKIN JIKA ADA YANG BERMINAT BOLEH MAMPIR.