Thirty-two

73 7 0
                                    

Awan cerah di pagi ini mendukung suasana penerbangan ✈ banyak orang berlalu lalang di bandara, melakukan perjalanan maupun sehabis pulang dari penerbangan yang menempuh jarak antar luar negeri.

Seorang pria dengan pakaian serba hitam serta topi dan maskernya mendorong sebuah koper. Ia menatap seseorang yang sangat ia cintai sebelum ia benar - benar berjalan memasuki pesawat.

Dan tak lama, pesawat pun lepas landas.

"Bagaimana rasanya menjalani hari tanpa Jaemin?" Suara bariton dari belakang membuat Jiya menoleh, didapatinya seorang pria tampan dengan eye smile yang selalu menghiasi wajahnya ketika ia tersenyum.

Gadis itu terdiam, hanya menanggapi dengan senyuman tipis.

"Sabar, kau harus menikmati penantian ini agar tidak terasa ia sudah kembali." ucap Jeno lagi, pria itu berjalan mendekat ke arah Jiya.

Mendongakkan kepalanya ke atas, Jiya baru sadar Jika Jeno ternyata juga tinggi. Aura pria itu terasa sangat kuat namun tidak secanggung yang dulu.

"Iya, Aku sabar hanya merindukannya hehe. Aku tidak dekat dengan banyak orang jadi ketika dia pergi rasanya sangat sunyi."

Jeno menghela napas membuat Kim Jiya memasang wajah heran. "Kau tidak mau jadi temanku?" tanya pria itu.

Mata Jiya melebar sempurna, baru kali ini seorang Lee Jeno menawarkan pertemanan bersama gadis gendut sepertinya. "Kau yakin? Aku jelek dan gendut nanti kau malu."

Kepala Jeno menggeleng kuat, itu memang dirinya yang dulu. Brengsek, jahat, dan selalu memandang wanita dari fisiknya. Namun sekarang ia mulai bisa berpikir jika seseorang yang baik hatinya lebih menyenangkan dari pada yang terlihat cantik namun hatinya busuk.

"Kenapa bertanya seperti itu? Kau trauma Aku yang dulu ya?" Jiya terdiam mendengar penuturan pria itu. Sadar akan Jeno yang terus memandangnya gadis itu menunduk.

"Baiklah, kita berteman," ujarnya mengulurkan tangan dan dengan senang hati pria bermarga Lee dihadapannya membalas jabatan tangannya.

🐰

3 tahun berlalu.

"Kau paham kan apa yang ku bicarakan barusan?"

"Kim Jiya?"

Seorang gadis dengan surai hitam panjang menguap, ia memandang malas teman wanita dihadapannya yang ternyata sangat cerewet dan bawel itu. Bagaimana tidak, semenjak Jiya berubah wujud menjadi kurus gadis itu sering sekali bolos makan sampai terkena magh akut. Gissele sangat pusing, ia justru lebih suka saat Jiya masih gemuk dulu.

"Kim Jiya! Jaemin juga tidak akan meninggalkanmu jika kau gemuk." Sudah berapa kali di hari ini Gissele terus saja marah - marah, sekarang mereka sedang berada di kantin perusahaan tempat mereka bekerja.

Gadis bermarga Kim itu menggeleng kuat, ia mendengus menatap Gissele yang menambah porsi nasinya. "Aku mual," rengeknya sambil menutup mulut.

Sudah habis kesabaran Gissele, ia menghela napas berusaha tersenyum. Kesabaran tidak jadi habis. "Kau baru makan tiga sendok sayang, betapa Mamamu pun khawatir setiap penyakit lambungmu kambuh."

Segera Jiya menyuapkan kembali makanan dihadapannya dengan lahap, itupun ia lakukan karena mata Gissele berkaca - kaca. Semenjak dekat dengan Gissele sang Mama sering mengingatkan pada gadis berdarah Korea Jepang itu untuk mengomelinya ketika ia tidak mau makan.

"Kau makan karena aku hampir menangis kan?" helaan napas Gissele terdengar.

Malam telah tiba.

Apartmen yang di huni oleh Gissele dan Jiya tampak sepi, hanya ada suara ketikan di laptop masing - masing.

Mereka memutuskan untuk tinggal di apartment yang dekat dengan perusahaan mereka bekerja. Yaitu di Busan, sementara daerah asal mereka tinggal yaitu di Gangnam. Gissele sendiri orangtuanya lebih sering di Jepang daripada di Gangnam. Mungkin hanya mengurus perusahaan.

"Hey," ucap mereka bersamaan. Keduanya saling berpandangan sebelum akhirnya terkekeh keras.

"Kau dulu," ucap mereka bersamaan lagi. Tidak kuat dengan kondisi tawa Gissele pecah.

Jiya yang sudah biasa dengan sifat receh Gissele hanya menghela napas. "Siapa dulu?"

Gissele mengelus perutnya sendiri.

"Kau dulu, perutku sakit." ringisnya akibat tertawa terlalu keras.

"Baiklah, Uchinaga Aeri kenapa kau lebih memilih bekerja di perusahaan orang lain daripada di tempat orangtuamu sendiri?" kepo Jiya karena sedari mereka memutuskan untuk mendaftar di perusahaan yang sama, mereka sama - sama belum mengetahui alasan masing - masing.

Gissele memandang ke arah kaca apart mereka yang berembun karena malam ini hujan deras. "Aku ingin mandiri, aku tidak suka bergantung dengan kekayaan orangtuaku. Kalau bisa mereka memiliki saham sendiri, dan akupun juga. Haha," jelasnya sembari melipat kedua tangan di dada.

"Kalau dirimu? Kenapa?" Sekarang gantian Gissele bertanya.

"Jawabanmu sangat keren, berbeda dengan jawabanku." ungkap Jiya sembari menggosokkan kedua tangannya karena udara semakin dingin. Gissele yang peka akan itu segera bangkit dari sofa, menyalakan penghangat ruangan.

Sekembalinya Gissele ke sofa ia melirik Jiya sekilas. Isyarat agar gadis itu melanjutkan perkataannya.

"Aku bingung, sebenarnya perusahaan ini rekomendasi dari Papaku. Aku tidak tahu pastinya." Jiya memijat keningnya sendiri, sebenarnya ada satu beban pikiran yang menyangkut pikirannya selama ini. Rasanya Jiya sedikit takut, atau bahkan sudah takut sepenuhnya.

Mata kecokelatan Gissele menatap gadis disebelahnya, bisa ia pastikan bahwa Jiya sekarang sedang tidak baik - baik saja.

"Aku melihatmu murung akhir - akhir ini, apa karena...... " Gissele menggantungkan ucapannya, bukannya ia bingung tapi karena ia tidak ingin sahabatnya itu semakin overthinking.

Namun, pada akhirnya Jiya juga tidak bisa berlama - lama bohong pada sahabatnya itu. Ia tahu, Gissele pendengar yang baik. Gadis itu bahkan sering memberikan solusi atas masalah yang ia hadapi.

"Iya, ini karena Na Jaemin."

"Sudah 5 bulan dia tidak mengabariku sama sekali, ah - sepertinya lebih dari 5 bulan."

"Aku tidak tahan, aku penasaran."

"Aku ingin tahu, mungkinkah dia sudah mendapat yang lebih baik daripada aku."

Jiya bahkan tidak meneteskan air mata sama sekali selaras dengan apa yang ia ucapkan.

Gadis berdarah Korea Jepang yang merupakan sahabatnya tersebut menggeleng. "Tidak, jangan overthinking seperti itu Kim Jiya, kumohon...." lirih Gissele tidak mau sahabatnya itu menyesal jika mengambil tindakan yang salah.

"Apa yang harus kupertahankan? Penantianku yang sia-sia? Kau juga tahu kan, banyak gadis Amerika yang cantik, seksi dan menarik. Itu jauh lebih pantas untuk Jaemin. Sedangkan aku?"

Gissele hendak menghentikan langkah sahabatnya yang sedang dalam mood kurang baik itu, namun pergerakannya terhenti membiarkan gadis itu berjalan menuju kamarnya.

Menyandarkan badan sepenuhnya di sofa, Gissele mendesah pasrah. "Apakah Mark juga akan melakukan hal yang sama? Dia bahkan tidak memiliki kabar satupun dari beberapa bulan yang lalu."

Are you sure?

Menuju Ending 💚



Are You Sure? || FF NCT NA JAEMIN || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang