Control Yourself

134K 3.1K 75
                                    

"Tumben si Bapak mau ikut antre beli kopi rakyat jelata?" Pertanyaan Titi menyentakku.

Aku refleks berbalik dan mendapati Pak Stevie berada di belakang antreanku. Tubuhnya yang tinggi itu terlihat begitu menjulang di antara deretan karyawan yang rela antre demi segelas kopi buat mengusir kantuk.

Enggak biasa-biasanya aku jadi deg-degan seperti ini ketika berhadapan dengan Pak Stevie. Sepanjang hari ini, aku enggak sering bertemu dengannya. Meski ke kantor bareng, dia langsung menghilang ke ruang meeting, dilanjutkan janji makan siang dengan klien. Baru menjelang sore, aku bertemu lagi dengannya.

Tanpa bisa dicegah, pipiku bersemu merah ketika ingatanku memainkan percintaan liarku dengan Pak Stevie. Melihat dia memakai kemeja biru muda pas badan itu, aku makin tersipu. Aku yang memilihkan baju itu, karena kulitnya makin menonjol dengan warna-warna lembut. Ya kalau dianugerahi wajah ganteng dan badan sebagus itu, pakai baju apa pun akan terlihat bagus. Namun warna lembut memberikan komplimen yang bagus di kulitnya yang cerah.

Sejak kapan aku jadi fashion enthusiast begini?

Pak Stevie mendongak dari handphone. Matanya bersitatap denganku. Sebaris senyum yang terkembang di wajahnya membuat jantungku langaung copot.

"Pak, lo enggak mau beliin kita kopi?" Ujar Titi.

Pak Stevie memutus beberapa antrean dan bergabung bersamaku dan Titi. Meski ada Titi yang membatasiku dan Pak Stevie, aura panas yang menguar dari tubuhnya membuatku refleks mengipaskan tangan.

Hanya dengan melihatnya saja, kewanitaanku langsung berulah.

"Pesenin buat yang lain juga," ujarnya.

Titi bersorak girang dan langsung memberitahu di grup chat kantor soal traktiran kopi. Di saat Titi memesan, Pak Stevie pindah berdiri ke belakangku. Dia enggak perlu berada sedekat ini denganku. Aku sudah sampai ke kesimpulan kalau berada dalam jarak dekat dengan Pak Stevie enggak baik untuk jantungku.

"Dinner tonight?" Bisiknya.

Aku sontak menarik napas. Bisikan itu pelan, enggak akan ada yang mendengarnya. Termasuk Titi yang sibuk memesan kopi. Bisikan itu, juga desahan napasnya yang menyentuh telingaku, membuatku nyaris rubuh.

Malu-maluin banget, sih, Na.

"Nina?"

Aku buru-buru mengangguk. Lagipula, apa aku bisa menolaknya? Mungkin bisa, tapi apa aku mau? Jawabannya jelas tidak. Kalaupun Pak Stevie menyuruhku telanjang di sini, aku dengan senang hati melakukannya.

Aku menjumput baju di atas dadaku. Hati, baik-baik di sana. Jangan berharap terlalu banyak.

Pak Stevie enggak berkata apa-apa lagi. Namun, dia juga enggak beranjak. Jarak yang sempit, dengan tubuhnya yang menjulang di depanku, membuat upaya untuk mengontrol hatiku jadi sia-sia.

***

"Mau balik, Pak?" Tanya Titi.

Aku mengangkat wajah dari layar laptop yang menunjukkan revisi design yang harus kuselesaikan. Saat berbalik, aku mendapati Pak Stevie keluar dari ruangannya.

Hatiku mencelus. Seharusnya malam ini aku dinner bareng Pak Stevie. Dia yang mengajakku. Namun, aku harus terkurung di kantor untuk menyelesaikan revisi.

Aku menguap. Kopi tadi sore enggak ada gunanya. Aku kesulitan menyuruh mata untuk terbuka. Pasalnya, berjam-jam memelototi laptop membuat mataku berkunang-kunang.

"Revisinya belum kelar, Na?" Tanya Pak Stevie, yang mengabaikan pertanyaan Titi.

Aku menggeleng. Revisi itu baru kuterima saat membeli kopi tadi sore. Seharusnya bisa dikerjakan besok, tapi Pak Stevie memberitahu besok dia berada di luar kantor seharian sehingga butuh revisi itu selesai hari ini juga agar bisa dicek besok pagi.

Yes, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang