Aku menubruk Mas Nadiem dan memeluknya kencang. Belum sampai setahun sejak terakhir kali bertemu dengannya, tapi aku benar-benar merindukannya. Ketika Mas Nadiem menjemputku ke kantor, akhirnya aku bisa menarik napas lega. Saat merasakan Mas Nadiem membalas pelukanku, aku merasa sebagian masalahku terangkat. Aku benar-benar membutuhkannya, sebelum aku dibuat gila oleh masalah yang tak berkesudahan ini."Kita makan di luar aja, ya." Aku merangkul lengannya sembari melintasi lobi yang ramai oleh orang berlalu lalang.
Mas Nadiem menatapku dengan ekspresi memelas, membuatku curiga akan hal buruk yang siap disampaikannya. Aku menggeleng, lalu menutup telinga karena tidak mau mendengar berita buruk.
"Mama nyuruh makan malam di rumah."
Aku sontak mengerang. Kalau saja bisa, aku ingin memonopoli Mas Nadiem untukku seorang. Sekaligus mencari tahu apa rencananya setelah ini?
"Brace yourself, baby sister. Sebelum kita nyemplung ke neraka."
Aku tergelak mendengar celetukannya. Sejak dulu, aku tidak pernah bisa menebak apa yang akan keluar dari mulutnya. Mas Nadiem yang pintar selalu mampu memberikan komentar yang tepat. Kadang mengundang tawa, tapi tak jarang juga mengundang emosi.
"So, what's your plan?" tanyaku saat berada di mobil. Selama di Jakarta, ada Pak Imran yang mengantarnya. Kakakku itu masih belum bisa berdamai dengan jalanan Jakarta yang padat, apalagi setelah tinggal di New York. Meski New York juga macet, tapi macetnya Jakarta berada di level berbeda.
Mas Nadiem menyerahkan iPad kepadaku. "Itu daftar aset Papa. Ada yang diberikan kepadamu, selain buat Mas dan Mama."
Mataku menyisir daftar aset yang dimiliki Papa. Umumnya berupa properti yang tersebar di Jakarta dan kota lain. Aku mengenali sebagian besar properti itu, tapi ada properti baru yang tidak kukenal dan tetap menjadi milik Papa. Aku yakin, properti itu yang nantinya akan menjadi milik Renata.
Mama berhasil mendapatkan semua aset yang dimintanya. Sedangkan aku mendapat satu unit apartemen di Kuningan, juga villa di Bali. Meski aku enggak menyukai Papa dan ingin hidup mandiri, aku enggak bodoh. Tentu saja aku menerima warisan ini, karena ini memang hak milikku.
"Soal saham? Renata sempat membahas soal itu."
Mas Nadiem menggulir layar iPad hingga di hadapanku terpampang daftar pemegang saham baru di perusahaan Papa. Selama ini Papa menjadi pemegang saham terbesar, tapi Papa membaginya untukku dan Mas Nadiem. Mas Nadiem mendapat porsi lebih besar, dan aku enggak keberatan. Bagaimanapun, dia yang akan bertanggung jawab terhadap perusahaan itu.
Keningku berkerut saat membaca nama Renata di sana. Meski porsi untuknya kecil, aku tidak rela dia mendapatkan bagian harta Papa.
"Dia mengancam akan bocorin soal pernikahannya dan Papa. Dia minta aku ngembaliin sahamku ke Papa, jadi punyanya Papa lebih besar sehingga Papa bisa ngasih lebih banyak buat dia," ucapku.
"Masih untung Mas enggak permasalahin jatah dia."
"Kenapa?"
Mas Nadiem menatapku sekilas. "Malas ribut. Biarin aja dia yang drama sendiri. Kayak kita masih kekurangan masalah aja, Na."
Ucapannya membangkitkan senyum di wajahku. "Mama gimana?"
"Mama enggak setuju karena mau ada saham buat dia."
"Kenapa Papa enggak kasih bagian untuk Mama?" tanyaku.
"Mama udah dapetin jauh lebih banyak dibanding yang seharusnya. Menurutmu, berapa hasil penjualan lukisan itu nantinya?" Mas Nadiem balik bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Pak!
Literatura KobiecaNina Alexandra Fresh Graduate yang baru mulai menapak karier. Selalu tertarik pada laki-laki yang lebih tua sehingga dijuluki mengalami Daddy's Issue. Diam-diam tertarik pada atasannya, dan menjalani hubungan tanpa masa depan. Stevie Andika Kawilara...