Bad Seed

38.8K 2.8K 66
                                    


Aku mendapati Pak Stevie ada di apartemen ketika aku pulang di malam harinya. Selama beberapa saat, aku meneliti keadaannya. Ekspresi wajahnya terlihat sangat lelah. Keadaannya begitu berantakan. Baru kali ini aku melihat Pak Stevie seberantakan ini. Rasanya ingin mendekatinya, mengusap rambutnya, dan memeluknya sambil berharap kehadiranku bisa menenangkannya.
Namun, aku menahan diri.

Sorry, enggak ngabarin kamu seharian ini.”

Aku bergeming di tempat, menunggu penjelasan lebih lanjut. Namun, tidak ada kata-kata lain yang keluar dari mulutnya.

Aku menghela napas panjang. “Aku khawatir tahu enggak.”

Pak Stevie mendongak untuk menatapku. Sebaris senyum tipis terukir di wajahnya. “Sorry, aku enggak bermaksud membuatmu khawatir. Tiba-tiba saja ada banyak hal yang harus kuselesaikan.”

Nama Sandra sudah berada di ujung lidah, tapi aku menahan diri untuk tidak menyebut nama itu.

Just that?”

Pak Stevie mendekatiku. Tangannya meraih pinggangku dan menarikku hingga terperangkap di dalam pelukannya. “Ini masalahku, Nina. Aku enggak mau membebanimu dengan masalahku di saat kamu sendiri juga punya banyak nasalah.”

Sepanjang hari aku mengkhawatirkannya, dan ini yang dia berikan kepadaku? Aku tahu masalahnya sangat berat, tapi caranya mengesampingkanku membuatku merasa terpinggirkan.

“Aku tahu kalau aku minta ruang buat mikirin hubungan kita, tapi bukan berarti kamu bisa cut off aku begitu aja,” seruku.

“Bukan begitu, Na. Ini masalahku, jadi aku harus selesaiin. Aku begini karena mikirin kamu.”

“Kalau kamu mikirin aku, kamu bakal menganggapku setara dan mengajakku membahas masalah kita bareng-bareng.” Aku melepaskan tangannya dan mengambil langkah mundur.

Pak Stevie tidak menutup-nutupi ekspresi terluka di wajahnya saat aku menjauh.

“Malam ini, aku cuma mau ambil kunci kos aja. Aku tidur di sana malam ini,” putusku.

“Na…” Pak Stevie berusaha mencekal lenganku.

“Kamu sendiri yang bilang ini masalahmu. Apa pun itu masalah yang kamu maksud, aku enggak tahu. Jadi kamu bisa manfaatin waktumu untuk nyelesaiin masalah itu.” Aku melepaskan tanganku yang dicekalnya. “Aku juga butuh ruang buat nyelesaiin masalahku sendiri.”

Dia bahkan tidak bertanya apa yang sebenarnya menimpaku.

Pak Stevie masih menunjukkan ekspresi keberatan. Dia kembali berusaha menahanku, tapi aku bergeming dengan keputusanku.

Tanpa disadarinya, Pak Stevie memberikan jalan keluar untukku. Saat ini, aku benar-benar membutuhkan ruang untuk berpikir, dan dia baru saja memberikan ruang itu kepadaku.

***

“Na, gue dengar gosip.” Regy langsung menodongku begitu aku sampai di kantor. Dia bahkan tidak memberiku kesempatan untuk duduk terlebih dahulu.

“Sejak kapan lo tertarik sama gosip?” tanyaku.

Regy mengibaskan tangan di depan wajahku. “Pak Stevie katanya mau resign.”

Pernyataan itu membuatku terpaku. “Resign?”

Regy tidak langsung menjawab. Selama beberapa saat, dia menatapku. Ada penyesalan di wajahnya, mungkin menyesal sudah memberitahuku karena aku benar-benar clueless soal ini.
Aku enggak tahu apa-apa. Tidak mendengar kabar apa-apa.

“Lupain aja, deh.”

Alih-alih mengikuti ucapan Regy, aku malah memutar kursi hingga menghadap Regy. “Spill it.

Yes, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang