Sex Affair

119K 3.4K 143
                                    


“Na, ke sini bentar.”

Aku mengerang kesal karena Pak Stevie memanggil di saat aku sudah bersiap untuk mau makan siang. Malas-malasan, aku menuju ke ruangannya. Seharusnya aku mengiyakan ajakan Regy untuk makan siang lebih awal, jadi enggak perlu dipanggil seperti ini.

Pak Stevie pasti mau membahas revisi dari klien. Dasar workaholic, memangnya dia enggak lapar apa? Sepanjang yang aku tahu, dia suka banget makan. Makanya gila-gilaan banget olahraga biar enggak buncit. Tapi kalau di kantor, aku jarang melihatnya makan siang.

“Enggak bisa nanti aja? Aku lapar.” Aku merajuk begitu masuk ke ruangannya. Lapar membuatku lupa kalau saat ini dia adalah atasanku.

“Kunci pintunya.”

Ucapannya membuatku terpaku selama beberapa saat. Butuh waktu untuk mencerna makna tersirat di balik perintahnya. Saat melihat seringai di wajahnya, seketika aku lupa akan rajukanku sebelumnya. Aku mengunci pintu ruangannya, sebelum berlari dan melompat ke pelukannya.

Aku jadi teringat permintaanku semalam, agar dia mewujudkan fantasi liarnya yang turut menjadi fantasiku.

Pak Stevie menangkap tubuhku. Dia mengangkatku dan mendudukkanku di atas meja. Tangannya menyingkirkan dokumen yang memenuhi meja sehingga ada ruangan untukku.

“Bilangin dong kalau mau ngajakin dosa di sini,” ledekku. Aku melingkarkan lengan di lehernya sementara Pak Stevie membungkukkan tubuhnya untuk menciumku.

“Jangan berisik,” ujarnya sambil menahan tawa.

Enggak ada juga yang mendengar. Tidak ada seorang pun di luar, semuanya sedang keluar makan siang.

Rasa lapar masih ada, tapi aku enggak keberatan meladeni keinginan Pak Stevie. Jujur saja, sepanjang pagi ini aku menginginkan fantasi liar itu. Memikirkan Pak Stevie menghunjamku dengan penisnya di atas meja kerjanya membuatku tidak bisa tenang. Aku gelisah dan merasakan perutku berkedut karena keinginan itu begitu menggebu-gebu.

Namun, aku tidak menyangka akan merasakannya secepat ini.

“Kamu cuma punya waktu sepuluh menit,” bisikku.

Pak Stevie mendecakkan lidah. “Enggak yakin kamu puas kalau cuma sepuluh menit,” balasnya.

Aku tergelak, refleks memukulkan tangan ke dadanya. Aku sengaja berlama-lama di sana, mengusap dadanya, merasakan ototnya yang liat dari balik lembaran kemeja yang dipakainya. Aku tidak akan bosan meski seharian menghabiskan waktu dengan mengusap dadanya seperti ini.

Pak Stevie kembali menciumku. Aku harus bertumpu ke tubuhnya agar tidak rebah di meja. Pak Stevie tampak begitu menguasai saat menunduk di atasku, melumat bibirku seolah sedang berpacu dengan waktu. Telapak tangannya yang lebar dan besar menangkup punggungku untuk menahan tubuhku. Tangannya yang bebas bergerak menarik pakaianku hingga menggumpal di atas dada.

Tanpa melepaskan ciuman, dia menarik turun bra yang kupakai hingga payudaraku terbebas. Eranganku tertahan oleh cumbuannya saat Pak Stevie meremas payudaraku.

Aku menarik napas panjang saat ciuman itu berakhir. Hasrat begitu menggebu ketika Pak Stevie meraup payudaraku ke dalam mulutnya. Rahangnya yang dipenuhi rambut-rambut halus karena belum sempat bercukur membuatku geli seperti digelitik.

“Hmm…” Eranganku tertahan oleh telapak tangannya yang membekap mulutku. Sulit untuk tidak mengerang saat dia mencumbuku seperti ini. Jika di apartemennya, aku bisa berteriak bebas tanpa takut ada yang terganggu.

Namun tidak kali ini.

Puas menciumi payudaraku, bibirnya bergerak turun ke perutku. Pak Stevie sudah berhenti membekap mulutku, kedua tangannya menarik naik rok hingga menumpuk di pinggang. Aku meluruskan kaki saat Pak Stevie menurunkan celana dalamku hingga lepas.

Yes, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang