Tell Me The Truth

43.5K 3.3K 180
                                    


Stevie

Nina mendahuluiku masuk ke apartemen, tanpa menoleh sedikit pun. Seolah sejak tadi aku makhluk tak kasat mata di sampingnya. Nina menjalankan aksi bisu di sepanjang perjalanan dari Grand Lucky. Jalanan yang kosong membuatku mencoba untuk mengajaknya bicara, tapi Nina sengaja membuang pandangan ke luar jendela.

Ada banyak hal bermain di benakku. Sikap dingin Nina adalah salah satunya. Namun, kalau boleh jujur, aku tidak bisa mengenyahkan pemikiran bahwa remaja yang tidak sengaja bertemu di supermarket tadi adalah anakku.

Sudah belasan tahun sejak terakhir kali aku bertemu Sandra. Aku hampir tidak mempercayai penglihatanku saat tanpa sengaja melihatnya. Awalnya aku berpikir dia hanya seseorang yang mirip dengan Sandra. Lagipula, sudah sangat lama sejak aku melihatnya, bisa jadi penglihatanku salah.

Namun ketika berada di lorong yang sama, Sandra hanya beberapa meter di depanku, penglihatanku tidak berbohong. Dia sosok yang pernah mengisi hatiku di masa lalu.

Sandra tidak banyak berubah. Usia membuatnya terlihat semakin matang dan dewasa.

Namun, bukan Sandra yang membuatku seperti melihat hantu di siang bolong. Melainkan remaja yang berbelanja bersamanya. Ketika mendengar anak perempuan itu memanggil Sandra dengan panggilan 'Mama', jantungku mencelus.

Aku berusaha mencari kemiripan antara anak perempuan itu dengan diriku. Namun, Sandra beradu pandang denganku. Dari ekspresinya, aku yakin Sandra juga tidak menyangka akan bertemu lagi denganku.

Selama belasan tahun dia berhasil menghilang dariku, tanpa kabar apa pun. Lalu di Minggu siang ini, takdir melemparkannya kembali ke hadapanku.

Nina menempati bar stool di kitchen island. Hanya ada satu stool tersisa, dan aku menempatinya, membiarkan kitchen island membatasi antara aku dan Nina. Aku tidak butuh jarak ini. Aku ingin merengkuh Nina ke pelukanku dan meyakinkan bahwa kekhawatirannya tidak beralasan.

Mungkin aku membutuhkan pelukan Nina untuk meyakinkan diriku sendiri, bahwa anak perempuan itu bukan darah dagingku.

Tanpa suara, Nina menatapku. Wajahnya terlihat keras dan dingin. Sepanjang mengenalnya, aku belum pernah melihat sisi ini di sosok Nina.

Nina menunggu penjelasanku. Aku berutang penjelasan kepadanya.

"Kalau kamu bertanya, apa dia anakku? Aku juga enggak tahu jawabannya, Na." Aku berkata lirih.

Rasanya ingin mengejar Sandra, meminta penjelasan lebih lanjut dari ucapan sambil lalu itu. Namun di saat yang sama, aku juga tidak mungkin mengabaikan Nina. Kalau saja tubuhku bisa dibagi dua, aku akan membaginya dengan senang hati. Sekarang, aku tidak tahu ke mana harus mencari Sandra.

"Kenapa kamu sampai berpikir dia anakmu?" Nina bertanya dingin. Sebelah alisnya terangkat, menantangku untuk memberikan kejujuran di hadapannya. Dia bahkan bersedekap, membuatku yakin bahwa tidak ada satu pun yang bisa membuatku mengelak.

Aku menghela napas panjang. Nina membutuhkan penjelasanku.

"Ketika hubunganku dan Sandra berakhir, dia hamil."

Aku masih ingat saat Sandra memberitahu perihal kehamilannya. Aku mencintai Sandra, tapi aku masih butuh waktu untuk membangun rumah tangga dengannya. Posisiku masih terjepit antara keluarga yang menginginkanku untuk memimpin perusahaan, juga keinginanku untuk lepas sepenuhnya dari keluarga yang tidak mencintaiku.

Aku tidak mengingkari kehamilan Sandra.

"Situasi saat itu membuatku serba salah. Kamu tahu hubunganku dan keluargaku gimana. Mereka enggak pernah menerima Sandra, karena menurut mereka Sandra membuatku semakin enggan untuk bekerja di perusahaan Papa." Aku mengusap kening. Meski sudah lama berlalu, aku masih tidak bisa lupa pertengkaran besar yang terjadi antara aku dan Papa.

Yes, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang