Dering telepon membangunkanku. Dengan enggan, aku beranjak dari pelukan Pak Stevie dan menjangkau nakas mencari-cari ponsel yang memekakkan telinga. Di sampingku, Pak Stevie menggeram pelan sebelum ikut terbangun.
“Siapa yang nelepon kamu pagi-pagi begini?” tanyanya.
Kalau dilihat dari cahaya yang mencuri masuk dari celah gorden, pagi bukan kata yang tepat. Dugaanku diperkuat oleh jam di nakas yang menunjukkan hampir pukul sepuluh. Tidak biasa-biasanya Pak Stevie kesiangan. Sepertinya malam yang emosional seperti semalam menguras tenaganya.
Aku menyalakan lampu nakas bersamaan dengan berhentinya dering telepon. Aku mengeceknya dan mendapati nama Mas Nadiem di sana.
“Mas Nadiem,” jawabku.
Tidak lama kemudian, Mas Nadiem kembali menelepon. Aku sempat ragu untuk mengangkatnya di sini atau mencari tempat lain yang lebih private, tapi akhirnya kuputuskan untuk mengangkat telepon itu di samping Pak Stevie yang sudah kembali tertidur.
“Kenapa, Mas?” tanyaku.
“Bulan depan Mas pulang. Papa mau bagiin warisannya.” Jawaban Mas Nadiem mengembalikanku ke realita bahwa orang tuaku memutuskan untuk bercerai.
“Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulutku.
“Bagian kita sesuai yang seharusnya. Meski Mas enggak mau ada yang dikasih buat anaknya Ren.”
Perutku melilit saat mendengar penuturan itu. Masalah keluargaku seolah berasal dari dimensi lain, dimensi yang tidak ingin kutinggali. Aku ingin memutus sambungan telepon dan kembali meringkuk di pelukan Pak Stevie, tapi Mas Nadiem masih punya banyak hal untuk disampaikan.
“Perusahaan jatuh ke tangan Mas.”
Aku tidak lagi mendengar dengan saksama apa saja yang disampaikan Mas Nadiem. Seolah ada tembok besar yang tiba-tiba muncul di sekelilingku dan menyembunyikanku dari kenyataan pahit di luar sana.
Mas Nadiem sepertinya menyadari keenggananku. Dia sudah berhenti bicara soal Papa dan warisannya. Setelah meyakinkanku bahwa bulan depan dia akan pulang, telepon itu terputus.
Rasanya ingin menghentikan waktu saat ini juga, karena aku tidak sanggup menyambut apa yang menungguku di masa depan.
Jadi, aku kembali meringkuk ke pelukan Pak Stevie dan memeluknya erat-erat. Berharap berita yang disampaikan Mas Nadiem tak lebih dari sekadar mimpi buruk.
“Sayang, semua akan baik-baik saja,” bisik Pak Stevie. Kedua lengannya melingkari tubuhku, menarikku lebih dekat ke pelukannya.
Aku memejamkan mata, sementara Pak Stevie mengusap rambutku.
Dalam hati, aku ingin percaya bahwa semua akan baik-baik saja, meski ada bagian hatiku yang tidak percaya dengan mudah akan omong kosong itu.
***
Setelah mencoba untuk tidur dan berakhir dengan kegagalan, aku putuskan untuk bangun. Mungkin, dengan menyibukkan diri, aku bisa melupakan obrolan di telepon dengan Mas Nadiem. Aku tahu, tidak seharusnya aku mengabaikannya. Masalah itu akan tetap ada, cepat atau lambat, aku harus menghadapinya.
Namun tidak pagi ini. Hari ini aku ingin menikmati momen bersama Pak Stevie. Sayangnya, dia masih tidur ketika aku meninggalkannya di ranjang dan menuju dapur.
Akhirnya aku tahu cara memakai coffee machine dan berhenti membuat kopi sachet yang selalu mengundang protes dari Pak Stevie. Aku membuat kopi untuk sarapan yang sangat terlambat, karena tidak sampai satu jam lagi sudah masuk jam makan siang. Namun, aku butuh kopi untuk membangunkan semua sistem sarafku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Pak!
Genç Kız EdebiyatıNina Alexandra Fresh Graduate yang baru mulai menapak karier. Selalu tertarik pada laki-laki yang lebih tua sehingga dijuluki mengalami Daddy's Issue. Diam-diam tertarik pada atasannya, dan menjalani hubungan tanpa masa depan. Stevie Andika Kawilara...