I Wish

58.4K 3.3K 116
                                    

Aku merebahkan kepala di dada Pak Stevie. Tanganku mengusap dadanya, merasakan kehangatan yang dialirkan tubuhnya. Baik sejak di perjalanan hingga sampai di apartemen, Pak Stevie tidak bertanya alasanku tiba-tiba minta dijemput.

Di balik keterdiamannya, dia memberiku waktu untuk menyiapkan diri.

That 's what I love about him. Ketika dia memberikanku waktu sampai aku siap, tidak pernah mendesak. Dia hanya memastikan dirinya ada untukku, dan bagiku itu sudah cukup.

Hampir tengah malam, tapi kantuk belum menyapa. Padahal tubuhku sudah sangat lelah. Nyatanya, mataku masih nyalang tanpa ada keinginan untuk tidur.

Aku menghela napas panjang. "Pak, sudah tidur?"

Pak Stevie mendengung singkat. Aku mendongak dan melihat matanya terpejam.

"Makasih ya udah mau jemput," ujarku.

Ada dorongan dari dalam diriku untuk bercerita. Aku butuh meluapkan semua yang kusimpan di dalam hati. Sudah terlalu banyak yang kusimpan, dan aku tidak lagi punya kekuatan yang cukup untuk menyimpannya lebih lama lagi.

"Papa mau cerai, beliau mau meresmikan pernikahannya dan Renata. Mama enggak setuju, jadi untuk melawan Papa, Mama minta semua aset Papa jadi hak milik Mama." Fakta itu meluncur dari mulutku, tanpa bisa dicegah.

Setelah mengutarakannya, alih-alih lega aku malah tidak kuasa membendung semua hal yang memaksa minta dikeluarkan.

"Papa mutusin mau berhenti di politik, makanya mau ceraiin Mama. Selama ini hubungan mereka hanya saling menguntungkan, sekarang Papa enggak lagi merasa perlu pertahanin hubungan itu. Makanya mau ceraiin Mama. Aku, sih, yakin ini karena Renata." Mengingat Renata selalu membuatku naik darah.

Aku memejamkan mata, berharap tidak ada lagi sisa tangis yang mengancam untuk tumpah.

"She's a snake. Dia sengaja deketin Mas Nadiem awalnya, tapi malah jadi selingkuhan Papa. Waktu mereka menikah siri, Renata senang banget karena selama ini enggak ada selingkuhan Papa yang berhasil jadi istri, sekalipun cuma istri siri." Aku tertawa miris.

Aku merasakan tangan Pak Stevie yang merangkulku bergerak mengusap pundakku. Hal kecil itu membuatku semakin meringkuk di dadanya. Usapan ringan itu cukup menjadi tanda bahwa dia mendengarkanku, sekaligus membuatku semakin terdorong untuk menumpahkan semua hal yang selama ini kusimpan seorang diri.

"Ingat banget waktu kecil dulu aku pengin jadi anaknya Pak Imran aja. Beliau sopir keluarga. Aku iri sama Adinda, anaknya Pak Imran. Mereka tinggal di paviliun belakang rumahku, kecil tapi hangat. Enggak kayak rumahku." Adinda seumuran denganku. Meski hidup sederhana, dia selalu bahagia. Kalau saja bisa, aku ingin menukar hidupku dan Adinda.

Aku memainkan jariku di dadanya. Kulitnya terasa hangat saat bersentuhan dengan ujung jariku.

"Kenapa kita enggak bisa memilih mau dilahirkan di mana?" tanyaku. Sebuah pertanyaan konyol.

Pak Stevie kembali mengusap pundakku. "That was suck."

Meski situasinya berbeda, dia mengerti dengan kondisiku. Pak Stevie juga mengalami masa kecil yang berat. Dia tumbuh bersama Ayah yang tak segan-segan berbuat kekerasan.

"Tapi kamu bisa memilih mau membentuk keluarga seperti apa," lanjutnya.

Di pelukannya, aku mengangguk.

"Ada banyak anak sepertiku, yang tumbuh tanpa kasih sayang orangtua. Seharusnya anak-anak sepertiku tidak berharap bisa merasakan hubungan yang semestinya. Tidak ada contoh bagaimana sebuah hubungan seharusnya berlangsung. Semestinya aku jadi seseorang yang skeptis terhadap pernikahan dan komitmen saja," balasku.

Yes, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang