Set Me Free

40.2K 2.7K 91
                                    


Hubunganku dengan Mama tidak pernah baik, tapi belakangan hubungan tersebut semakin memburuk. Ucapan Renata membuatku mengingat kebiasaan Mama. Setiap bulan, Mama selalu pergi liburan dengan teman-temannya. Tanpa Papa. Sekarang aku baru mengerti arti liburan tersebut.

Aku tidak membenci Mama. Sama seperti perasaanku kepada Papa. Aku tidak peduli. Bagiku, apa pun yang dilakukan orang tuaku tidak ada hubungannya denganku.

Aku mendapati Mama berada di apartemen Mas Nadiem. Kakakku itu lagi-lagi harus pulang malam, sehingga lagi-lagi, hanya aku yang makan malam dengan Mama. Take over perusahaan dari tangan Papa begitu menyita waktu, bahkan aku sudah berhari-hari tidak melihat Mas Nadiem sekalipun kami tinggal di apartemen yang sama. Dia sudah berangkat ketika aku bangun pagi, dan dia baru pulang saat aku sudah tidur.

“Sudah sembuh?” tanya Mama.

Aku mengangguk sambil menyantap makan malam.

“Pacarmu menelepon Mama. Mama enggak tahu dia dapat nomor Mama dari mana,” timpal Mama. Mama menatapku lekat-lekat. “Kenapa kamu di sini? Setahu Mama kamu ngekos di dekat kantor.”

Aku sempat kembali ke kos, tapi kamar itu menyimpan kenangan bersama Pak Stevie. Hal itulah yang membuatku tidak ingin menempatinya, karena hanya membuatku teringat Pak Stevie. Aku menerima tawaran Mas Nadiem untuk tinggal bersamanya, sampai apartemen yang diwariskan Papa bisa kutempati.

Mama enggak perlu tahu jawaban yang sebenarnya.

“Mama sendiri kenapa sering ke sini?” Aku balas bertanya.

Mama mengernyitkan hidung. “Memangnya salah kalau Mama mau menemui anak sendiri?”

Rasanya ingin mengangguk di depan Mama, tapi aku mengurungkan niat. Momen gencatan senjata bersama Mama tidak akan berlangsung lama. Oleh karena itu, aku berusaha mempertebal kesabaran saat berhadapan dengan Mama.

Lagi pula, ini Mama. Aku sangat mengenalnya untuk mengetahui bahwa selalu ada alasan tersembunyi di balik sikapnya.

“Perempuan murahan itu masih sering datang ke rumah untuk mengubah keputusan papamu.” Mama buka suara.

“Renata?”

“Siapa lagi?” Mama balas bertanya dengan nada sengit. “Dia manfaatin anaknya untuk menguras harta ayahmu.”

Dalam hati, aku ingin melemparkan kalimat tersebut kembali kepada Mama. Sebab, Mama juga menjadikanku dan Mas Nadiem sebagai tameng melawan Papa.

“Papa beneran mau maju di Pilkada?”
Mama mengangguk. “Tawarannya sudah lama datang, tapi baru sekarang waktunya terasa tepat. Kamu jangan macam-macam sampai papamu terpilih.”

Aku menarik napas panjang. “Memangnya aku bakal ngapain?” tantangku.

Mama mengibaskan tangannya di depanku. “Belakangan kamu sering membangkang. Sejak pergi dari rumah, kamu jadi makin susah diatur. Mama menyesal sudah mengizinkanmu ngekos, kamu jadi enggak punya manner seperti ini.”

Aku menekan sendok dan garpu kencang-kencang untuk meredakan emosi. Mama mungkin melihat keputusanku sebagai sebuah kesalahan, tapi aku justru merasa sebaliknya. Keluar dari rumah dan menjalani hidupku sendiri adalah keputusan terbaik yang pernah kuambil.

“Mungkin Mama yang harusnya lebih menahan diri,” ujarku pelan.

Ucapan tersebut membuat wajah Mama berubah keras. Tatapan matanya sangat taham saat tertuju kepadaku. Aku melihat Mama menggertakkan gigi dan ada umpatan pelan yang keluar dari mulutnya.

“Kamu percaya pada perempuan jalang itu?”

Aku mengangkat bahu. “Siapa pun yang aku percaya, itu enggak ada artinya.”

Yes, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang