"Mama di mana?" Aku bertanya dengan nada tinggi, berharap pendengaranku salah. Mama enggak mungkin menungguku di lobi, kan?
"Lobi kantormu."
Aku berteriak tanpa suara. Enggak mungkin membuat kegaduhan sekalipun ini sudah jam pulang. Titi melirikku, meski berusaha untuk tidak kentara.
"Kamu selesai kerja jam berapa?"
Aku melirik jam di sudut kanan atas laptop meski percuma. Pekerjaanku sudah selesai, aku enggak harus berada di kantor lebih lama lagi. Meski seharian ini Titi enggak berhenti menyindir karena kemarin dia terpaksa tinggal sendiri, bukan berarti hari ini aku mau menebus dengan menunggunya sampai selesai bekerja.
Namun, pulang juga bukan pilihan yang tepat karena Mama tiba-tiba datang memberi kejutan. Setelah semua teleponnya kuabaikan, Mama mengambil langkah terakhir. Dengan menemuiku di kantor, aku enggak mungkin mengelak.
"Ini sudah mau pulang." Dengan berat hati, aku menjawab.
"Ya sudah, Mama tunggu di lobi." Mama memutus sambungan telepon tanpa menunggu kelanjutan ucapanku.
Aku menghela napas panjang. Cepat atau lambat, aku harus menemui Mama. Enggak mungkin selamanya menghindar dari Mama. Namun, aku berharap masih bisa menunda sedikit lebih lama lagi.
Mama belum memberitahuku secara langsung soal perceraiannya. Mungkin Mama mau memberitahu, tapi aku enggak pernah memberinya kesempatan.
Aku juga enggak tahu apakah Mama mengetahui soal rencana Mas Nadiem. Kakakku itu juga sulit dihubungi. Karena dia ingin mengakhiri kontrak, pekerjaannya jadi lebih banyak sehingga enggak ada waktu untukku.
"Gue duluan, ya," kataku pada Titi. Dia tidak menjawab, bahkan mengangkat wajah pun enggan.
Terserah dia, aku enggak peduli.
Aku mengintip ke ruangan Pak Stevie. Ruangan itu kosong, mungkin dia belum selesai meeting. Aku meninggalkannya dan menuju lift, berharap ada kejadian yang membuatku tidak harus bertemu Mama dalam waktu beberapa menit ke depan.
Doaku tidak didengar. Perutku mendadak mulas saat di lobi mataku menangkap Alphard yang biasa membawa Mama ke mana pun. Aku lebih memilih pulang naik GoJek ketimbang terjebak di dalam Alphard bareng Mama di tengah macet yang enggak ada habisnya.
"Sore, Ma," sapaku saat sudah berada di dalam Alphard.
Mama menatapku sekilas, sebelum kembali fokus ke handphone. Aku menyapa Pak Imran yang sudah bekerja untuk keluargaku sejak kecil. Dulu Pak Imran yang mengantar jemputku ke sekolah. Aku lebih sering bertemu Pak Imran dan istrinya Bu Nur ketimbang orangtuaku sendiri.
"Kamu masih ngekos?" tanya Mama.
Ketika aku memutuskan untuk ngekos saat kuliah, Mama enggak setuju. Mama juga enggak setuju dengan pilihan kuliahku. Mama ingin aku kuliah di luar negeri, mengambil jurusan bisnis seperti Mas Nadiem. Aku sempat terlibat perang dingin dengan Mama, sementara Papa enggak peduli aku mau kuliah di mana dan jurusan apa. Bagi Papa, yang penting aku cukup berdiri di dekatnya dan tersenyum manis ke hadapan kamera. Di dalam hidup Papa, aku hanyalah hiasan yang mendukung citra family man yang dibentuknya.
Mama ingin membentukku menjadi fotokopi dirinya. Mama punya wajah cantik, perpaduan Jawa dan Belanda yang membuatnya terlihat anggun. Bagi Mama, kecantikannya bisa membuka semua jalan. Oleh karena itu, Mama begitu mengagungkan kecantikannya. Setiap waktunya dihabiskan dengan merawat tubuh. Mama berpacu dengan waktu, memanfaatkan perkembangan teknologi untuk melawan waktu. Sayangnya, waktu tidak bisa dilawan. Tidak peduli berapa banyak botox dan operasi yang dilakukan Mama, usianya tidak pernah bisa berubah muda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Pak!
Genç Kız EdebiyatıNina Alexandra Fresh Graduate yang baru mulai menapak karier. Selalu tertarik pada laki-laki yang lebih tua sehingga dijuluki mengalami Daddy's Issue. Diam-diam tertarik pada atasannya, dan menjalani hubungan tanpa masa depan. Stevie Andika Kawilara...