Stevie
"Fuck."
Aku merasakan Nina memelukku erat, sekaligus menyembunyikan tubuhnya dari pandangan Mama. Sementara itu, Mama menatapku dengan mata menyipit penuh tuduhan.
Mama jarang menginjakkan kaki di apartemen ini. Lalu, kenapa sekarang Mama malah datang dan merusak pagiku dengan Nina?
"Pak..." Nina berbisik, mengalihkan perhatianku kepadanya.
"Stevie, Mama mau bicara." Di saat bersamaan, Mama berkata tegas. Mama tidak menunggu jawabanku, langsung meninggalkanku dan Nina menuju ruang tamu.
Aku baru beranjak begitu melihat Mama duduk di sofa, membelakangi arah dapur tempat aku dan Nina berada. Setelah memastikan Mama tidak melihat, aku menunduk untuk mengambil kemejaku yang tadi dipakai Nina, lalu memasangnya di tubuh Nina. Dia tidak menolak, mengikuti apa pun yang kulakukan.
Wajahnya pucat. Nina tidak bisa menyembunyikan kekalutannya. Sedikit pun dia tidak mengalihkan perhatiannya dariku, ketika aku membawanya kembali ke kamar.
Setelah berada di kamar dan jauh dari pendengaran Mama yang penuh penghakiman, Nina akhirnya buka suara.
"Aku harus gimana?" tanyanya.
Aku beranjak menuju lemari dan menyambar pakaian pertama yang kutemukan. Sambil memasangnya, aku menghampiri Nina. Aku mengerti mengapa Nina begitu panik. Dia pasti merasa malu ketika Mama menangkap basah dirinya bermesraan denganku.
"Kamu tunggu di sini. Aku mau tahu alasannya datang ke sini buat apa," jawabku.
Nina menatapku dengan kening berkerut. "Terus, aku gimana?"
Aku menunduk untuk menatapnya. "Sayang, kamu tunggu di sini dulu. Oke?"
Ada banyak pertanyaan bermain di benaknya. Aku bisa melihat dengan jelas di wajahnya. Namun, aku juga melihat ekspresi kecewa di wajahnya.
"Oh gitu..."
Sepertinya Nina salah paham dengan maksudku.
"Sayang, bukannya aku mau nyembunyiin kamu." Aku membawa Nina duduk di pangkuanku ketika aku menempati sisi tempat tidur. "Kamu tahu hubunganku dengan orangtuaku gimana. Termasuk Mama. Belakangan, Mama menghubungiku hanya untuk dua hal, memintaku kembali ke perusahaan keluarga dan memperkenalkan perempuan yang mau dijodohkannya denganku. Kamu tahu, aku menolak kedua permintaannya itu."
Nina tidak menjawab. Hanya matanya yang menatapku tanpa menyembunyikan kekhawatiran di sana.
"Aku bukannya enggak mau memperkenalkanmu ke keluargaku, karena percuma. Mereka enggak akan menerimamu dan aku enggak peduli dengan penolakan itu. I choose you, okay? Itu yang penting," lanjutku.
Nina menggigit bibirnya, membuat wajahnya tampak semakin kalut.
"Aku enggak akan ninggalin kamu meskipun keluargaku enggak setuju. Aku sudah memutus hubungan dengan mereka," tegasku.
"Enggak semudah itu memutus hubungan keluarga."
Aku tahu. Namun, aku sudah lama merasa hidup sendiri tanpa ada keluarga yang berdiri di belakangku. Sejak kecil, aku tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua. Aku hanya mendapatkan tuntutan yang tak berkesudahan, tidak peduli apa yang sebenarnya aku inginkan?
Di mata keluargaku, terutama Papa, aku hanyalah objek yang bisa dibentuk menjadi keinginannya. Di matanya, aku bukanlah manusia yang punya hak memilih.
"Sayang, look at me. I choose you. Apa pun yang terjadi, aku cintanya sama kamu. Oke?" Aku menahan kedua sisi wajah Nina agar dia bisa melihat bahwa aku sungguh-sungguh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Pak!
ChickLitNina Alexandra Fresh Graduate yang baru mulai menapak karier. Selalu tertarik pada laki-laki yang lebih tua sehingga dijuluki mengalami Daddy's Issue. Diam-diam tertarik pada atasannya, dan menjalani hubungan tanpa masa depan. Stevie Andika Kawilara...