Dinner Talk

136K 3K 38
                                    

"Gojek lo udah sampai?"

Pertanyaan Titi membuatku gelagapan. Buru-buru aku menggeleng. Biasanya aku akan memesan GoJek untuk pulang ke kos, tapi kali ini aku menunda pemesanan. Pak Stevie bilang dia mengajakku pulang ke apartemennya, tapi sejak sore dia enggak kelihatan karena sibuk meeting.

"Gue duluan ya." Titi melambai ke arahku. Kuputuskan untuk menunggu lima menit lagi.

Kenyataannya, sepuluh menit kemudian, aku masih menunggu di lobi. Pak Stevie masih belum ada kabar.

Bunyi klakson membuatku terperanjat. Sebuah Pajero Sport berhenti di depanku. Begitu jendela dibuka, aku baru sadar itu mobil Pak Stevie.

"Kirain Pak Stevie sudah lupa," semburku sambil memasang seat belt.

Dia hanya tertawa kecil. "Udah makan, Na?" Tanyanya yang kujawab dengan gelengan. "Makan dulu, ya. Ada ide?"

"Lagi pengin Korea. Cheongdam Garden boleh. Lo yang traktir, kan, Pak?"

Dia menatapku dengan kening berkerut. "Kenapa?"

"Gue mau pesan yang mahal. Akhir bulan, Pak. Dompet gue lagi tiris." Aku terkikik.

"Tanggal gajian kita kan sama," selaknya.

"Tapi jumlah gajinya kan beda." Aku membantah.

"Makan yang banyak, biar lo punya banyak tenaga."

"Buat?" Godaku.

Pak Stevie menyempatkan untuk melirikku sekilas. Kilat di matanya membuatku bergidik.

"I want to fuck you."

Ucapannya yang terus terang itu membuatku mengalihkan wajah agar dia enggak menangkap semu merah di pipi.

Aku tahu hubungan ini enggak lebih dari sekadar seks. Sejak awal Pak Stevie sudah menegaskannya. Namun, mendapati seseorang yang nyaris sempurna seperti dia terang-terangan menunjukkan dirinya bernafsu kepakdaku, tak urung membuatku besar kepala.

He's a sex God.

Me? I'm just an ordinary human with zero experience.

I had sex before. Kali pertama di umur sembilan belas, dengan pacar pertamaku. Tidak ada yang spesial. Hubungan itu terasa monoton. Tidak ada eksplorasi yang mampu meningkatkan sisi liar atau keinginan lebih dari diriku. Begitu juga dengan mantan keduaku. Seks terasa seperti sebuah kebiasaan.

Satu weekend dengan Pak Stevie membuatku sadar akan kebutuhanku. Juga akan adanya keinginan dari dalam diriku. Bahwa seks bisa menyenangkan dan menggairahkan.

Itulah yang mendasariku menerima hubungan ini. Aku ingin mengenali diriku sendiri. Sejauh mana keinginanku. Apa yang dibutuhkan tubuhku.

Being a sex God like himself, he has a lot of experience under his belt.

"We're here." Ucapan Pak Stevie memutus lamunanku.

Aku menyusulnya turun dari mobil. Pak Stevie menunggu di depan mobilnya. Dia menggandeng tanganku saat memasuki restoran.

Sama seperti ketika dia tersenyum siang tadi, jantungku kembali jumpalitan enggak keruan sewaktu melihat tanganku yang berada di genggamannya.

Ini hanya hal kecil. No big deal.

Sepertinya aku harus makin gencar menanamkan di kepalaku sendiri kalau ini hanya sebatas seks.

Seks. Enggak ada tempat untuk deg-degan seperti bocah ingusan yang baru kenal cinta monyet.

"Lo tinggal di mana?" Tanya Pak Stevie setelah waitress berlalu dengan pesanan.

"Ngekos di Karet."

Yes, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang