Heart to Heart

40.9K 2.4K 57
                                    

Aku membutuhkan ruang untuk sendiri, tapi malam ini aku juga membutuhkan Pak Stevie sebagai tempat bersandar. Rasanya terlalu melelahkan, sampai-sampai aku tidak sanggup melawan. Aku merebahkan kepala di pundak Pak Stevie. Napasku pendek-pendek, terdengar berat.

"Kamu tahu, kan, kalau tuduhannya Titi salah?"

Aku mengembuskan napas panjang. "Enggak penting. Aku yakin bukan cuma Titi yang mikir begitu. Pasti seisi kantor mikir yang sama."

Pak Stevie merangkul pundakku, menarikku hingga makin tenggelam ke dalam pelukannya. Dia mendaratkan ciuman yang lama dan panjang di puncak kepalaku.

"We had sex, Nina. Mereka enggak salah soal hal itu. Mereka salah kalau menganggap kamu cuma peliharaanku atau apa pun itu yang mereka pikirkan. Mereka juga salah kalau beranggapan aku akan melepaskanmu dalam waktu dekat. You're mine, Nina. Aku enggak akan melepaskanmu," bisiknya tajam.

"Sekalipun Sandra kembali ke hidupmu?"

Aku merasakan tubuhnya menegang, lalu diikuti dengan tarikan napas panjang. "Kalaupun Sandra masih sendiri, aku enggak akan kembali padanya. Cintaku cuma punya kamu. Bukan Sandra atau yang lain."

"Aku mau percaya tapi enggak semudah itu. Kenapa kamu bisa mencintaiku, sementara ada banyak perempuan lain yang pernah singgah di hatimu setelah Sandra?" Aku memberanikan diri mempertanyakan hal yang jawabannya berpotensi untuk melukaiku.

"Aku menikmati perhatian yang kamu berikan. Aku menikmati kebersamaan kita. Kamu mungkin enggak sadar, tapi perhatian kecil yang kamu berikan membuatku merasa berarti. Aku merasa dihargai." Jawabannya terdengar pelan tapi ada nada getir di baliknya.

"Itu cukup untuk membuatmu jatuh cinta?"

Pak Stevie memberikan jawaban lewat pelukannya yang kian erat. "Dari semua perempuan yang pernah menjadi pasanganku, enggak ada yang tulus menyayangiku. Mereka menginginkan sesuatu dariku. Aku membutuhkan mereka untuk seks, dan mereka membutuhkan hal lain dariku. Uang, posisi, you name it."

"Bagaimana kalau aku juga membutuhkanmu untuk hal itu?" pancingku.

"Awalnya aku pikir begitu. Apa yang kamu cari dari laki-laki tua sepertiku? Makanya aku menawarkan hubungan ini denganmu, menukarnya dengan seks. Aku salah. Dan, itu kesalahan besar yang kulakukan."

Selama beberapa saat, aku membiarkan ucapan Pak Stevie memenuhi benakku. Baru kali ini aku mendengarnya begitu terbuka. Pak Stevie terdengar rapuh. Dia pasti menyadarinya, tapi dia tidak peduli. Dengan memperlihatkan kerapuhan itu, dia pun jujur di hadapanku.

"Sandra pernah bilang kalau aku enggak layak dicintai. Selama ini aku percaya. Karena setiap perempuan yang mengaku mencintaiku, nyatanya tidak pernah tulus. Itu yang membuatku percaya bahwa aku tidak layak dicintai. Sampai akhirnya kamu menunjukkan kepadaku bahwa aku berhak dan layak dicintai." Pak Stevie kembali mencium puncak kepalaku.

"Kenapa Sandra ngomong begitu?" Aku memancing semakin dalam.

Dan Pak Stevie sudah menurunkan semua perisai yang selama ini dibangunnya.

"Bagaimana kalau aku sama saja seperti ayahku? Aku sempat ragu untuk melanjutkan kehamilan Sandra, karena aku takut akan menjadi monster di hadapan anakku sendiri. Sandra menangkap ketakutan itu dan menganggapku tidak serius untuk bertanggung jawab. Itu validasi yang dilakukannya sehingga memutuskan untuk aborsi," jawab pak Stevie.

Aku mengerti asal ketakutan itu. Aku pun pernah dihinggapi ketakutan yang sama, memperlakukan anakku kelak seperti Mama memperlakukanku.

Namun aku juga percaya, bahwa aku tidak ingin anak-anakku mengalami nasib yang sama denganku. Di balik ketakutannya, aku yakin Pak Stevie juga memiliki keyakinan yang sama. Dia tahu rasanya diperlakukan semena-mena, sehingga tidak akan melakukan tindakan yang sama ke darah dagingnya sendiri.

"Sandra dibesarkan oleh single mother. Ketakutannya adalah membesarkan anak itu sendiri. Itu juga alasannya aborsi."

"Kamu akan ngebiarin dia membesarkan anakmu sendiri?"

"No. I'm not my father. Aku tidak akan membiarkan anak itu tumbuh tanpa kasih sayang ayahnya."

Aku menghela napas panjang. "Kalau anak di supermarket itu anakmu, dia tumbuh tanpa kasih sayang seorang Ayah."

"Dan aku enggak akan pernah memaafkan diriku sendiri kalau itu benar," jawabnya.

"Kamu tahu, kan, itu bukan salahmu? Kamu enggak tahu kalau dia ada."

Pak Stevie menenggelamkan wajahnya di rambutku. Berada di pelukannya membuatku bisa merasakan kegundahannya.

"Tetap saja itu salahku."

"Keluargamu terlalu banyak ikut campur," gerutuku.

"Mereka menganggap apa yang mereka lakukan akan membuatku bahagia. Sekali pun, mereka enggak pernah bertanya, apa yang membuatku bahagia? Bagaimana mereka yakin aku akan bahagia?" timpalnya.

Aku sudah membuka mulut, tapi urung ketika mendengar notifikasi pesan masuk di handphone yang tergeletak di meja. Tanpa melepaskan pelukannya, Pak Stevie membungkuk untuk meraih handphone. Sekilas, aku melihat nama Stephanie di layar.

"Kamu beneran enggak mau pulang?"

Pak Stevie tidak langsung menjawab. Aku kembali merasakan kegundahan yang lain. Detik ini, aku menyadari kebenaran baru.

Bagaimana kalau sebenarnya dia ingin pulang?

"Apa yang menghambatmu untuk pulang?"

"Aku sudah pergi sejauh ini. Aku sudah lama sendiri, menata hidupku sendiri, lepas dari keluarga itu. Pulang hanya membuatku merasa kalah." Kejujuran itu membuatku terpaku.

"Kamu tahu itu enggak benar."

"I know. Tapi aku tetap merasa sebagai pecundang kalau menginjakkan kaki di sana. Aku selalu melihat diriku yang tidak bisa berbuat apa-apa sementara ayahku menjadikan tubuhku sasaran pukulan dan amarahnya."

Aku bisa merasakan kepedihan yang masih mengikutinya hingga dewasa.

"Cepat atau lambat, kamu akan pulang. Aku yakin kamu akan pulang."

Sekali lagi, Pak Stevie membiarkan ucapanku berlalu tanpa menyangkalnya. Keterdiamannya membuatku semakin yakin bahwa jauh di dalam hatinya, dia ingin pulang dan mengakhiri perang yang tak berkesudahan ini. Hanya saja, egonya terlalu besar untuk mengakui hal yang sebenarnya dibutuhkannya.

"Jangan sampai kamu menyesal."

Pak Stevie menjawab ucapanku dengan pelukannya yang tambah erat. Selama beberapa saat, hanya keheningan yang membentang di apartemen ini. Aku memejamkan mata, mereguk kehangatan yang diberikan tubuhnya.

Entah dari mana datangnya ketakutan itu—ketakutan bahwa ini terakhir kalinya aku merasakan pelukannya. Karena ada banyak tangan tak kasat mata yang siap menarik Pak Stevie menjauh dariku.

PS: Buat yang nggak sabar, versi full masih tersedia di KaryaKarsa.

PSS: Untuk extra part terpisah akan tayang di KaryaKarsa begitu versi Wattpad selesai. Enggak ada beda dengan versi full.

Yes, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang