Sit on My Face

121K 3K 145
                                    

Aku mendorong tubuh Pak Stevie hingga terjerembap ke sofa. Dia tidak melakukan apa-apa, pasrah menerima apa pun yang kulakukan dengan seringai tipis di wajahnya.

Sambil berdiri di hadapannya, aku membuka rok yang kupakai. Mata Pak Stevie tak henti menggerayangiku, mengikuti ketika rok itu terjatuh ke lantai. Lalu, disusul oleh celana dalamku.

Senyumnya terkembang lebar saat melihatku.

Aku menarik ujung baju yang kupakai lalu meloloskannya melewati kepala. Setelah bra terlepas, aku berdiri di hadapan Pak Stevie dalam keadaan telanjang.

Bara di matanya saat menatapku membuatku bergidik. Caranya menatapku, yang tidak menyembunyikan betapa dia menginginkanku, membuatku merasa menjadi perempuan paling cantik di dunia.

Aku menundukkan tubuh ke arahnya. Tanganku menumpu di pundaknya ketika aku menciumnya.

Biasanya, Pak Stevie yang menguasai. Kali ini, dia membiarkanku memegang kendali.

Aku menangkup kedua sisi wajahnya dan melumat bibirnya. Pak Stevie membalas ciumanku, membelitkan lidahnya denganku. Perlahan aku mendorongnya hingga kepalanya rebah di tangan sofa. Tanpa melepaskan ciuman, aku menindihnya.

Ciumanku beralih ke lehernya. Aku memainkan kerah kemeja yang dipakainya, mencicipi setiap jengkal kulitnya yang terlihat.

Perlahan, aku bergerak menaiki tubuhnya. Aku bertumpu di lutut yang berada di kedua sisi kepalanya. Perlahan, aku menurunkan tubuhku dan bibir Pak Stevie menyambutku.

Lidahnya menyapu kemaluanku. Dia menyerbu klitorisku yang sudah membengkak dan sangat sensitif. Lidahnya juga menyibak liang senggamaku, menyecap cairan hasrat yang membasahiku.

Aku mendesah ketika lidahnya mencumbu dengan dalam. Aku harus berpegangan ke tangan sofa karena kakiku mendadak berubah jadi jeli.

Pak Stevie menangkup bokongku dan mendorongku hingga wajahnya tenggelam di kewanitaanku. Lidahnya menyerbuku tanpa henti. Setiap lenguhanku dibalas dengan tusukan lidahnya.

"Pak..." rintihku. Gumamannya tenggelam di kewanitaanku.

Jarinya ikut menyiksaku, bersama lidahnya yang menyibakku tanpa henti.

Bukan kali ini saja Pak Stevie memuaskanku dengan lidahnya. Namun kali ini terasa berbeda. Aku menekan kepalanya, juga merapatkan paha untuk menahannya. Sementara lidahnya semakin liar memanjakanku.

"Pak, enggak kuat..." Aku meneriakkan namanya saat gelombang puas itu menghantamku.

Pak Stevie menahan bokongku saat tubuhku bergetar. Lidahnya masih menyecapku, menghisap hingga tak ada yang tersisa. Aku menjambak rambutnya untuk meningkahi sensasi tersebut.

Setelah getaran di tubuhku berangsur mereda, Pak Stevie melepaskanku. Aku beringsut turun hingga rebah di atas tubuhnya. Tangannya melingkari tubuhku.

"Itu kado buat gue?"

Aku tersenyum. "Salah satunya."

"Ada apa lagi?"

Aku menciumnya sekilas sebelum beringsut turun hingga wajahku berhadapan dengan kejantannya. Dia sudah membesar sekalipun masih tersembunyi di balik celana.

Dengan cekatan, aku membuka sabuk dan kancing celananya. Pak Stevie mengangkat pinggul agar aku bisa melepaskan celana itu.

Aku tak lantas membuka boxer yang dipakainya. Kepala penisnya mengintip keluar karena boxer itu tidak bisa menampung penisnya yang membengkak dengan sempurna.

Tanganku menyusuri kejantanannya dari luar boxer. Aku mengintip dan mendapati Pak Stevie menikmati sentuhanku. Riak wajahnya membuatku makin terpacu untuk memuaskannya.

Yes, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang