Three Reasons

66.4K 2.9K 109
                                    

Pak Stevie mendorongku ke dinding, membiarkan tubuhku dialiri air hangat dari shower yang menyala deras di atasku. Bibirnya menjelajahi leherku, meninggalkan getar di sekujur tubuhku.

Tangannya menangkup payudaraku. Pak Stevie memelukku erat, membuatku bersandar penuh ke tubuhnya. Aku bisa merasakan kejantanannya yang membengkak menusuk bokongku. Aku sudah tidak sabar ingin merasakan kejanantannya mengoyakku tanpa ampun.

Erangan mencuri keluar dari mulutku ketika jarinya menjepit putingku, lalu menariknya dan meninggalkan rasa perih yang justru membuatku ingin merasakan kenikmatan yang sama sekali lagi.

“Lagi…” bisikku.

Alih-alih mengabulkan keinginanku, Pak Stevie membawaku menjauh dari shower. Tangannya menggapai dinding dan mematikan shower, sebelum mengangkatku dan mendudukkanku di pinggiran wastafel. Bibirnya langsung menyerbu payudaraku, melumatku seolah aku menu makan malam yang ditunggu-tunggunya setelah puasa panjang.

Aku tidak melakukan apa-apa selain menikmati setiap sentuhannya, cumbuannya, dan remasannya di tubuhku. Pak Stevie selalu tahu caranya mengaburkan pikiranku. Setiap sentuhannya membuatku berhenti berpikir. Setiap cumbuannya membuatku berakhir di bawah selimut birahi.

Tanganku beranjak menuju bagian belakang kepalanya dan menggelamkan jari-jariku di dalam rambutnya yang tebal. Aku menekannya, membuat Pak Stevie semakin lahap melumat putingku.

Tubuhku terkesiap saat merasakan jari-jarinya menyentuh kewanitaanku. Aku merenggangkan kaki, memberikan akses penuh kepada Pak Stevie. Dia menguasai seluruh tubuhku. Aku tidak keberatan berada di bawah kuasanya, karena dia memberikanku kenikmatan yang aku yakin tidak akan bisa kudapatkan dari sosok lain selain dirinya.

“Pak…” desahku, yang dijawab Pak Stevie dengan memasukkan dua jarinya ke dalam tubuhku.

Aku refleks menggelinjang, membiasakan diri dengan jari-jarinya yang memberikan rangsangan hebat. Seolah ada aliran listrik yang menjalar dari ujung kepala hingga kaki. Mulutnya masih mencumbu payudaraku, sementara jari-jarinya membuatku semakin dekat dengan titik puas pertama yang kurasakan di malam ini.

Tubuhku mulai bergerak tak beraturan. Pak Stevie sudah mengenali tanda-tanda yang diberikan tubuhku, jika aku sudah kehilangan kendali. Dia pun mempercepat gerakan jarinya, cumbuannya jadi kian liar, dan aku hanya bisa menengadah dengan napas terengah-engah sampai gelombang itu menghantamku.

Once is never enough.

Selama bersama Pak Stevie, aku selalu berubah seperti binatang liar kelaparan dan hanya dirinyalah yang bisa menuntaskan rasa lapar itu.

Pak Stevie menciumku lama, sampai tubuhku berhenti bergetar.

Tak lama, dia menarikku hingga berdiri lalu memutar tubuhku. Pak Stevie mendorongku hingga menelungkup di atas wastafel. Tangannya menguasai pinggangku, sementara bokongku terangkat tinggi. Aku mendongak dan mendapati pantulan bayangan Pak Stevie yang berdiri gagah di belakang tubuhku.

Dia menggagahiku dari belakang. Matanya bertaut denganku lewat pantulan cermin. Gerakannya semakin cepat dan tidak sedetik pun dia mengalihkan tatapan dariku. Aku seperti terperangkap dalam hipnotis, karena matanya menjeratku dengan dalam.

Pak Stevie menelungkup di atas punggungku. “Masih butuh kontol lain?” tanyanya.

Aku menggeleng. Aku tidak butuh laki-laki lain. Aku hanya butuh Pak Stevie dan kejantanannya yang mengoyakku.

“Jawab, Sayang,” desaknya.

Sekali lagi aku menggeleng, suaraku tercekat di kerongkongan, sehingga yang keluar hanyalah desahan lirih penuh nafsu.

Yes, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang