Uncontrollably Game

119K 3K 107
                                    

Stevie

"Anjing, kenapa lo kelihatan makin muda sih, taik."

Aku terkekeh saat mendengar umpatan Dwi, mantan rekan sekantor yang menjadi teman baikku.

"Dia enggak perlu mikirin uang sekolah anak, makanya mukanya cengengesan mulu." Oslo, temanku yang lain, menimpali.

Aku meletakkan tiga botol bir di atas meja dan menempati satu-satunya kursi kosong di meja itu. Sekali sebulan, aku menyempatkan untuk bertemu dua cecunguk ini. Kami dipertemukan di kantor yang sama saat mengawali karier. Awalnya saling bersaing demi naik jabatan dan sama-sama mengincar Citra Pariwara, tapi lembur demi lembur dan keseringan makan hati karena klien membuat aku stuck dengan mereka. Sekarang kami tidak lagi sekantor, sehingga tidak ada persaingan internal. Cuma bersaing memperebutkan klien.

Tahun lalu, Dwi dan timnya berhasil menggondol Citra Pariwara berkat iklan sirup yang nyeleneh dan viral. Hal itu membuatku dan Oslo semakin bertekad untuk mengalahkannya. Sudah dua tahun berturut-turut dia yang memenangkan penghargaan paling bergengsi di dunia periklanan tersebut.

"Gue enggak mau dengerin curhat soal bini lo." Aku menimpali dengan asal.

Dwi menikah tidak lama setelah bekerja. Married by accident, tapi kecelakaan itu membuat hubungan mereka awet sampai sekarang. Anak pertamanya, Maysha, sudah duduk di bangku SMP. Lain halnya dengan Oslo, yang baru bercerai dari istrinya dua bulan lalu. Perceraian yang menguras setengah hartanya.

"Resty baik-baik aja. Maysha yang bikin gue spaneng. Itu anak udah berani pacaran."

Aku menyembunyikan tawa sambil meneguk bir.

"Rosie masih belum puas menguras gue. Dia ngotot rumah yang Simprug buat dia." Oslo menyambar botol bir dengan kasar dan meneguknya.

"Dia bener-bener manfaatin prenup yang lo bikin." Aku menimpali.

Perceraian itu enggak akan terjadi kalau Oslo bisa mengontrol nafsunya dan enggak selingkuh dengan anak magang di kantornya. Rosie tidak mau memaafkannya dan langsung mengajukan cerai.

"Lo sendiri? Cewek lo siapa sekarang?" tanya Oslo.

Melihat ekspresiku yang datar, memancing emosi mereka berdua.

"Taik lo. Cewek yang kemarin masih lo pakai?" timpal Dwi.

Aku mengangkat pundak. "Dia minta dinikahin."

Jawabanku membuat kedua cecunguk itu tertawa kencang.

"Kurang apa itu cewek sampai enggak mau lo nikahin?" tanya Oslo.

"Enggak yakin gue dia mau nikah. Lihat aja kelakuannya, ganti cewek kayak ganti baju. Lepas satu, banyak yang antre mau gantiin."

Aku menunjuknya dengan botol bir. "Lihat lo spaneng gini, pilihan gue buat enggak nikah benar, kan?"

Pertanyaan itu disambut dengan umpatan dari kedua temanku.

Mereka memang sudah lama mengenalku, tapi tidak tahu apa yang sebenarnya kualami sampai tidak ingin menikah. Di mata orang lain, hidup yang kujalani membuat iri. Tidak ada beban pernikahan yang membuatku pusing setengah mati. Aku bisa dengan mudah berganti pacar. Apalagi pilihanku selalu jatuh pada perempuan muda yang baru menjejak usia dewasa.

Di titik ini, aku tidak menyesali pilihan yang kubuat. Tanpa adanya istri, aku bisa memenuhi semua kebutuhanku. Tidak ada masalah dengan hidup sendiri, aku tidak merasa kekurangan dalam hal apa pun.

Termasuk dalam hal kebutuhan fisik. Pacar-pacarku bisa memenuhi kebutuhanku akan seks. Tidak ada paksaan, aku melakukannya dengan kesadaran penuh dan atas izin mereka. Aku juga tidak bersikap seperti bajingan tengik yang memacari beberapa perempuan sekaligus. Bagiku, kalau satu perempuan sudah bisa memenuhi semua kebutuhanku, untuk apa mencari perempuan lain?

Yes, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang