Missing in Action

36K 2.9K 83
                                    


Pak Stevie enggak masuk kantor hari ini. Aku hanya mendapat pesan singkat berisi, "aku enggak ke kantor hari ini. Ada emergency."

Dia bahkan enggak menjelaskan emergency apa yang menimpanya.

Aku berusaha untuk tidak peduli. Masalahku sudah banyak, enggak ada gunanya menambah beban dengan memikirkan tingkah Pak Stevie yang di luar kebiasaan. Bukankah ini yang aku butuhkan? Adanya ruang untuk berpikir sehingga aku tahu langkah apa yang harus kuambil.

Situasi yang ada sangat tidak menyenangkan. Aku ingin melangkah maju, tapi ada rantai tak kasat mata yang menahan kaki sehingga tidak bisa melangkah jauh. Rantai berupa masa lalu Pak Stevie yang masih menyembunyikan kebenaran. Aku ingin mendesaknya untuk mengurai misteri itu, tapi sekarang dia malah menghilang.

Masalah keluargaku juga tidak menentu. Hanya Mas Nadiem yang menelepon untuk menanyakan keadaanku. Dia tidak memberitahu apa yang terjadi setelah kepergianku, tapi dari mood Mas Nadiem yang jelek, aku yakin kondisi bertambah runyam.

Aku penasaran, apa tanggapan Renata kalau tahu perceraian itu tidak akan pernah terjadi? Bisa saja Renata menjalankan rencananya, memberitahu publik tentang pernikahannya dan Papa. Renata sudah sangat desperate jika sampai melakukannya. Pengakuannya hanya akan menghancurkannya, jadi dia memastikan Papa juga ikut hancur bersamanya.

Untuk sementara, aku mengesampingkan semua masalah dan fokus ke pekerjaan. Proyek Gojek sekarang diambil alih oleh Regy dan aku sadar kalau timeline yang ada selama dipegang oleh Titi sangat berantakan. Akibatnya semua orang jadi keteteran untuk bisa menepati deadline.

Meski konsentrasiku dicurahkan untuk pekerjaan, aku tak bisa menahan diri untuk tidak melirik handphone. Tidak ada pesan baru dari Pak Stevie. Aku dilanda dilema, ingin menghubunginya lagi atau membiarkannya sampai dia mengabariku. Opsi kedua terdengar lebih masuk akal, meski membuatku tidak bisa tenang karena tidak berhenti memikirkannya.

"Enggak enak banget ya situasi kayak gini."

Aku mengangkat wajah dan mendapati Titi di mejanya. Tidak jelas untuk siapa ucapan itu ditujukan, tapi aku berani bertaruh dia tengah menyindirku. Atau Regy. Titi semakin menjadi-jadi setelah didepak dari proyek ini. Dia bahkan terang-terangan memusuhi Regy, padahal selama ini mereka teman dekat.

Titi beranjak dari mejanya dan menuju koridor lain. Belakangan dia semakin sering nongkrong bareng rekan dari tim lain. Siang ini, Titi bergabung dengan tim London.

"Titi minta dipindahin ke tim lain, enggak mau di Tokyo lagi," bisik Regy.

Aku mengangguk. "Terus, diterima?"
Regy mengangkat pundak. "Masih nyangkut di Pak Stevie. Omong-omong, dia ke mana, sih? Sejak tadi pagi dia enggak bisa dihubungi."

Regy mempertanyakan hal yang sejak tadi juga memenuhi benakku. Di depannya, aku memasang wajah datar agar Regy tidak mencium ada masalah di dalam hubunganku dan Pak Stevie.

"Enggak biasa-biasanya dia cuti mendadak begini. Dia cuma ngabarin gue buat tetap keep in touch sama dia, tapi mungkin bakalan slow response."

Aku mendengkus. Pak Stevie berbicara lebih banyak kepada Regy ketimbang aku.

"Lo butuh approval dia?" tanyaku.

"Sebenarnya, sih, enggak. Semalam dia udah approve, tapi ada revisi dikit. Ini udah gue benerin. Katanya, sih, kalau udah dibenerin ya tinggal di-submit, tapi gue masih ragu. Ini kali pertama gue jadi PM, Na. Gue takut salah langkah," beber Regy.

Aku tertawa pelan. "You're much much much better than you know who."

Tawa Regy tersembur, dan dia berusaha keras menahannya. Meski begitu, Titi sepertinya menangkap tawa Regy karena sekarang dia melayangkan tatapan permusuhan ke kami berdua.

Yes, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang