Aku tahu kalau alkohol tidak akan menyelesaikan masalah. Semalam, aku hanya bermaksud menenggak beberapa gelas saja, karena aku tahu kadar toleransi alkoholku rendah. Namun ketenangan yang timbul akibat pengaruh alkohol membuatku lupa diri. Aku baru sadar pagi ini, ketika melihat bekas botol kosong di tempat sampah, bahwa aku minum terlalu banyak.
Enggak heran kalau sekarang kepalaku begitu sakit. Setelah menguras semua isi perut, sekarang giliran kepalaku yang berdentam dengan hebat. Rasanya seperti ada orang yang dengan sengaja menabuh tempurung kepalaku. Sakit dan berat.
Sepanjang hari ini, aku bergelung di tempat tidur, setidaknya hangover membuatku lupa akan masalah yang mengimpit, meski untuk sementara. Karena begitu efek alkohol mulai memudar dan perlahan-lahan aku bisa kembali berfngsi, aku harus menghadapi kenyataan.
Dering handphone membuatku beranjak dari tempat tidur. Aku menggapai-gapai nakas untuk mencari keberadaan benda itu. Hal terakhir yang kuingat adalah melempar handphone ke karpet karena baterainya habis. Lalu pagi ini, aku mendapati handphone sudah dalam keadaan menyala dan baterai penuh.
Pasti Pak Stevie yang melakukannya. Bagaimana aku bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan paling pahit, karena setiap tindakannya selalu membuatku semakin mencintainya.
Kamar dalam keadaan gelap karena aku malas membuka gorden, sehingga sinar dari handphone terasa begitu menyilaukan.
Sebuah pesan pendek dari Mas Nadiem.
“I’m going home next week.”
Aku tidak bisa menahan senyum di wajah. Kabar singkat itu seperti oase di tengah gurun gersang.
“Come home soon.”
Mas Nadiem tidak akan menyelesaikan semua maslaahku, tapi setidaknya dia bisa membantuku menghadapi ancaman Renata serta menemaniku dalam menghadapi perceraian orang tua. Paling tidak, untuk hal ini, aku tidak sendiri. Meski aku tidak begitu dekat dengan Mas Nadiem saat kami tumbuh dewasa, mengingat jarak usia yang cukup jauh, tapi aku tahu bahwa kakakku itu bisa diandalkan dalam melawan Renata.
Tinggal masalah percintaanku dengan Pak Stevie yang masih menjadi benang kusut.
Kepalaku kembali berdenyut, seolah dihantam godam ketika teringat ekspresi Pak Stevie saat menatap Sandra dan putrinya. Juga ucapan Tante Maretha yang membuat posisiku semakin terpojok.
Aku membenamkan wajah di bantal. Alkohol bisa mengalihkan perhatianku dari masalah. Godaan itu begitu besar, membuatku harus mencengkeram bantal erat-erat agar tidak nekad menuju kabinet tempat Pak Stevie menyimpan koleksi minumannya.
Hangover is bad. Aku tidak mau kembali mengalaminya.
***
“Babe, gue curiga Titi enggak bakal ngasih tahu lo, tapi besok ada meeting ya soal Gojek. Siapin semua pekerjaan lo, jangan sampai ada yang kelewat. Kalau bisa lo print semua korespondensi terkait proyek selama ini.”Aku sampai membaca pesan dari Regy sebanyak tiga kali, tapi masih belum mengerti maksudnya. Pesan itu memperingatkanku soal meeting besok, tapi aku menangkap ada hal lain tersirat di sana.
Sudah jam pulang kantor tapi aku belum menerima pesan atau undangan meeting dari Titi.
“Gue perlu siapin apa lagi?”
Aku mengetikkan balasan itu kepada Regy.
Malam ini, sakit kepalaku sudah berangsur menghilang. Namun pesan Regy menghadirkan sakit kepala dalam bentuk lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Pak!
Genç Kız EdebiyatıNina Alexandra Fresh Graduate yang baru mulai menapak karier. Selalu tertarik pada laki-laki yang lebih tua sehingga dijuluki mengalami Daddy's Issue. Diam-diam tertarik pada atasannya, dan menjalani hubungan tanpa masa depan. Stevie Andika Kawilara...