Kehujanan semalam langsung menampakkan akibatnya. Kepalaku terasa berat, tapi aku memaksakan diri untuk tetap ke kantor. Sakit kepalaku semakin menjadi-jadi karena semalaman aku enggak bisa tidur.Sepanjang hari ini, aku berharap enggak ada yang mengganggu. Aku enggak berani membayangkan apa yang akan kulakukan jika ada yang memancing emosiku.
“Kenapa enggak izin aja, sih?” tanya Regy, untuk ke sekian kalinya, karena tidak tega melihatku mengeluh kesakitan.
Aku menyusut ingus. Suaraku terdengar kurang jelas saat dipaksa bicara. “Kerjaan gue udah keteteran, makin berantakan aja kalau maksain enggak masuk.”
Regy tidak lagi membantah. Sama sepertiku, kami harus membereskan kekacauan yang dibuat Titi. Kami enggak punya kemewahan berupa waktu. Pekerjaan ini harus diselesaikan dalam waktu singkat.
Meski Pak Stevie sudah turun tangan, tetap saja pekerjaan terasa berat. Enggak seharusnya aku mengeluh, karena tidak akan membuat pekerjaan jadi ringan. Namun, tak urung aku ingin memaki Titi karena membuatku harus menanggung kesalahan, padahal dia yang enggak becus.
“Lo mending jauh-jauh dari gue, deh. Biar enggak ketularan,” ujarku.
Regy terkekeh. “Gue udah pakai masker.”
Becanda ringan seperti ini menjadi satu-satunya hiburanku dan Regy agar tidak stres karena pekerjaan.
Aku tengah memeriksa desain sebelum dikirimkan ke Pak Stevie ketika seseorang mendorong kursiku. Aku mendesis kesal, terlebih setelah tahu Titi yang menyenggol kursiku. Dia melengos begitu saja, sama sekali tidak berniat meminta maaf.
Dia pasti melakukannya dengan sengaja.
“Jalan pakai mata dong, Ti,” gerutuku.
Titi tidak menanggapi. Bagusnya begitu. Aku yakin akan terjadi keributan jika Titi membalas.
Untung saja Titi lebih sering berada di meja tim lain, sehingga aku enggak harus melihat wajahnya dan mendengar sindirannya setiap saat. Berada di emosi yang tidak stabil seperti ini membuatku sebaiknya jauh-jauh dari Titi.
Dan Pak Stevie.
Hatiku mencelus saat melihatnya memasuki ruangan. Kenapa dia enggak bekerja remote aja hari ini?
Aku memaksa mata untuk menatap lurus ke laptop, bukannya mengecek keadaan Pak Stevie. Namun, aku harus mengaku kalah karena mataku terpaku dengan sendirinya ke sosok Pak Stevie.
Dia tengah mengobrol dengan Mas Derry. Biasanya, Pak Stevie selalu mengundang perhatian semua orang karena penampilannya yang kharismatik. Sosoknya terlalu indah untuk diabaikan. Namun sekarang, setiap pandangan yang terpaku kepadanya mempunyai arti sama dengan tatapanku—mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi kepadanya?
Berita yang ada cukup simpang siur. Aku jarang membaca berita ekonomi, tapi demi Pak Stevie, aku jadi sering update tentang perkembangan terbaru. Dari berita yang ada, banyak spekulasi menyebutkan Pak Stevie akan menggantikan ayahnya sebagai pimpinan utama Kawilarang Group. Belum ada pernyataan resmi darinya atau pihak perusahaan, hal itulah yang membuat rumor di luar sana jadi tidak terkendali.
Begitu juga di dalam Qcomm. Rumor bahwa Pak Stevie akan resign semakin santer terdengar. Entah rumor itu benar atau tidak, aku sangat ingin menanyakan langsung kepadanya.
Seharusnya aku tidak peduli. Kalaupun dia tidak bekerja di sini, tak ada hubungannya denganku. Dia bebas untuk pergi ke mana pun yang dia inginkan, dan aku tidak punya kendali apa-apa dalam menentukan jalan hidupnya.
Meksi begitu, bohong jika aku tidak kecewa. Dia menyembunyikan hal sebesar ini dariku. Bahkan sebelum aku mengucapkan selamat tinggal, berita ini sudah muncul. Dia sengaja menyembunyikannya dariku, membuatku merasa tidak cukup berarti di hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Pak!
ChickLitNina Alexandra Fresh Graduate yang baru mulai menapak karier. Selalu tertarik pada laki-laki yang lebih tua sehingga dijuluki mengalami Daddy's Issue. Diam-diam tertarik pada atasannya, dan menjalani hubungan tanpa masa depan. Stevie Andika Kawilara...