Stevie
Apartemen dalam keadaan terang begitu aku pulang hampir menjelang tengah malam. Meeting dadakan tersebut berubah menjadi makan malam yang membuatku tidak bisa pulang lebih cepat.Nina pasti sudah tidur, sehingga aku terpaksa mengulur waktu untuk membahas masalah yang menggantung.
Sepanjang hari ini, aku berusaha mencari tahu tentang Sandra. Aku menghubungi teman lama yang mengenalku dan Sandra, tapi tidak ada yang tahu tentang kabarnya. Bukan hal yang mudah untuk mencari tahu soal Sandra. Dulu aku pernah melakukannya, bertahun-tahun aku menghabiskan waktu untuk mencari tahu keberadaannya sampai akhirnya menyerah.
Setidaknya sekarang aku tahu Sandra ada di Jakarta.
Langkahku yang memasuki apartemen mendadak terhenti saat menatap kondisi apartemen. Aku mengusap mata untuk memastikan penglihatan. Tidak biasa-biasanya apartemenku dalam keadaan berantakan seperti ini. Aku mendapati pakaian yang tadi dipakai Nina ke kantor tergeletak di lantai, begitu juga dengan pakaian dalamnya. Aku menemukan handphone Nina dalam keadaan mati di atas karpet. Majalah dan buku yang biasanya ada di coffee table, kini bergeletakan di lantai, seolah seseorang dengan sengaja melemparnya.
Mataku terbeliak sata melihat sebotol wiski dalam keadaan kosong berada di lantai, tepatnya di belakang sofa. Aku memang menyimpan minuman keras, sesekali meminumnya kalau sedang ingin dan terlalu malas untuk minum di luar. Namun, aku tidak pernah menghabiskan sebotol wiski dalam sekali waktu.
“Nina…” Aku mengusap kening saat mendapati Nina berada di sofa, berbaring menelungkup dalam keadaan telanjang. Matanya setengah terbuka. Wajahnya merah, menandakan dia mengonsumsi alkohol di luar batas yang seharusnya.
She’s a light drinker. Nina bisa mabuk hanya dengan meminum bir. Namun, sekarang dia malah memegang sebotol wiski yang sebagian isinya tumpah ke karpet. Sementara itu, di tanganku ada botol lain yang sudah kosong.
Aku tidak menyangka akan mendapati Nina dalam keadaan seperti ini. Namun, aku bisa mengerti mengapa Nina sampai lepas kendali. Masalah yang dihadapinya terlalu berat. Nina tidak seharusnya menanggung beban sebesar ini. Dan, akulah yang menyebabkan Nina harus memikul masalah itu.
“Nina…” Aku mengusap wajahnya, menyelipkan rambut yang menutupi wajahnya ke belakang telinga. Perlahan, aku melepaskan pegangannya dari botol wiski.
Nina mengerang. Dia menolak melepaskan botol itu, malah semakin mempererat pegangannya, seolah tidak ingin dipisahkan dari botol tersebut.Aku kembali berusaha mengambil botol itu. Ketika akhirnya berhasil mendapatkannya, aku melihat botol itu hampir kosong. Sebagian isinya membasahi karpet, tapi aku tidak peduli.
Setelah meletakkan botol itu di atas meja, aku kembali menghampiri Nina. Berusaha untuk tidak membangunkannya, aku memutar tubuhnya hingga terbaring telentang. Tubuhnya yang indah membuatku terpaku. Aku tidak pernah imun terhadap Nina, dan Nina dalam keadaan telanjang adalah kelemahan terbesarku.
Dia mabuk. Aku harus memperingatkan diriku sendiri untuk tidak menggerayanginya, meskipun saat ini aku sangat ingin menenggelamkan diriku di dalam tubuhnya.
Perlahan, aku mengangkat Nina. Dia menggeliat, membuatku hampir saja menjatuhkannya.
“You’re home.”
Nina membuka matanya dan menatapku. Mata itu tampak sayu. Omongannya terdengar tidak jelas akibat alkohol yang diminumnya.
“Miss you.” Nina merangkulkan tangannya di leherku.
Biasanya aku akan melayani Nina setiap kali dia bermanja denganku. Namun tidak malam ini. Nina dalam keadaan mabuk. Dia tidak sepenuhnya sadar. Aku tidak akan bercinta dengan Nina, selama dia berada di bawah pengaruh alkohol dan tidak memegang kendali penuh atas keputusan yang diambilnya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Pak!
Chick-LitNina Alexandra Fresh Graduate yang baru mulai menapak karier. Selalu tertarik pada laki-laki yang lebih tua sehingga dijuluki mengalami Daddy's Issue. Diam-diam tertarik pada atasannya, dan menjalani hubungan tanpa masa depan. Stevie Andika Kawilara...