You and Your Lie

33.4K 2.6K 92
                                    


Aku pernah tinggal sendiri. Kamar kos ini pernah menjadi benteng perlindunganku. Namun sekarang rasanya tak lagi sama.

Aku ingin mengutuk Pak Stevie karena membuatku tidak bisa kembali ke kehidupanku semula. Kehadirannya memberikan warna lain di hidupku. Aku menikmati saat-saat bersamanya. Begitu menikmati, sampai-sampai aku merasa bahwa hidupku tidak akan pernah kembali sama kalau tidak ada dia.

Malam ini, aku bergerak gelisah di tempat tidurku. Aku merindukan Pak Stevie. Aku merindukan dekapannya, kehangatan yang diberikan tubuhnya sehingga aku tidak ingin menjauh dari pelukannya.

Terlebih, aku merindukan saat bercinta dengannya.

He ruined sex for me. Setelah kehadirannya, seks bagiku adalah Pak Stevie. Aku tidak akan bisa menginginkan pria lain seperti aku menginginkannya. Seperti aku membutuhkannya. Dia dan kehadirannya meninggalkan jejak yang teramat dalam, dan sekarang aku harus menanggung akibat dari ketergantungan tersebut.

Perasaanku masih sama. Bagaimana aku bisa mempercayai bahwa perasaanku kepadanya bisa berakhir, sementara tubuhku selalu merindukannya?

Jatuh cinta memang menyenangkan. Namun saat cinta terpaksa berakhir, yang tertinggal hanyalah perasan hampa dan mendamba.

Itulah yang kurasakan sekarang. Hampa karena aku sendiri di saat aku menginginkan kehadiran Pak Stevie. Akibatnya, aku hanya bisa mendambakan kehadirannya. Berharap apa pun penghalang yang ada di antara kami, akan segera sirna sehingga aku bisa merasakan kehangatan dan cintanya lagi.

Tubuhku sontak terduduk saat mendengar handphone berdering. Hatiku langsung berharap bahwa telepon itu dari Pak Stevie. Aku tidak bisa memungkiri bahwa aku benar-benar berharap dia menghubungiku dan menyudahi semua siksaan ini.

Harapanku tidak menjadi kenyataan. Bukan Pak Stevie yang menghubungiku, melainkan Mas Nadiem.

“Sudah tidur belum?” tanyanya.

“Enggak bisa tidur.”

Di seberang sana, Mas Nadiem terkekeh. “Mas malas pulang. Temenin minum dong.”

Aku sontak mengerang. “Aku sudah pakai baju tidur.”

“Ganti lagi sana. Sepuluh menit lagi Mas sampai.”

Tanpa menunggu jawaban, Mas Nadiem menyudahi panggilan telepon. Dengan berat hati, aku bangkit dari tempat tidur. Percuma beralasan ingin tidur karena aku tahu malam ini aku tidak akan bisa tidur lagi.

Seperti janjinya, Mas Nadiem muncul di depan kos sepuluh menit kemudian. Aku mengganti pakaian dengan jeans dan sweter lalu mengikat rambut sepundakku dengan asal. Aku tidak sempat memakai makeup dan hanya memulas wajah dengan bedak tipis. Kalau penampilanku terlihat menyedihkan, itu salah Mas Nadiem.

“Ganggu aja malam-malam.”

Mas Nadiem terkekeh. “Kamu lewatin kejadian seru semalam.”

Aku memutar bola mata. “Aku enggak mau tahu.”

“Yakin enggak mau tahu akhirnya gimana?” canda Mas Nadiem.

“Nope. Thank you. Enggak ada gunanya buatku.” Aku menoleh ke arah mas Nadiem. “Everything okay?”

Perlahan Mas Nadiem mengangguk. Aku mengenali kakakku ini sehingga bisa langsung menebak bahwa anggukan itu hanya kamuflase. Dia tidak baik-baik saja. Lagipula, dia tidak akan mengajakku menemaninya malam ini kalau dia baik-baik saja.

Mas Nadiem membawaku ke Beer Hall. Pilihannya membuatku meneriakkan protes.

“Mas, aku lebih cocok diajak makan gultik ketimbang nongkrong di sini,” semburku.

Yes, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang