Tidak sampai sehari, aku sudah dilanda bosan. Aku bahkan sudah capek karena sejak tadi hanya tidur. Sakit di kepalaku berangsur menghilang. Hidungku tidak lagi tersumbat seperti semalam. Batuk masih ada meski sedikit. Dan suaraku sudah kembali seperti semula.Setelah mandi dan merasa segar, aku putuskan untuk mengecek pekerjaan. Namun, aku tidak bisa berkonsentrasi. Kepalaku sering menoleh ke arah pintu, atau menatap handphone, dan hanya ada satu alasan di balik tingkah konyol ini.
Aku menunggu Pak Stevie.
Aku tidak ingin berharap banyak, tapi saat dia menatapku lekat-lekat dan aku menemukan kesungguhan di matanya, aku tidak bisa menahan diri. Harapan itu hadir dengan sendirinya. Aku hanya bisa berdoa agar tidak dikecewakan oleh harapanku sendiri.
Tubuhku tersentak saat mendengar pintu dibuka dan tak lama sosok Pak Stevie muncul dari balik pintu. Keadaannya masih sama seperti ketika dia meninggalkan apartemen ini. Dia bahkan masih memakai pakaian yang sama dengan yang dikenakannya kemarin. Semalaman dia tidak pulang dan menemaniku di sini, tanpa aku minta, dan fakta itu terasa menyentuh.
“Kamu udah baikan?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Kenapa kamu bisa masuk?”
Pak Stevie menyerahkan akses pintu kepadaku. “Dititipin ibumu.”
Aku masih enggak menyangka Pak Stevie menghubungi Mama. Aku lebih heran lagi karena Mama dengan mudahnya menyerahkan akses apartemen ini kepada Pak Stevie. Sampai sekarang, aku masih tidak mengerti dengan jalan pikiran Mama.
Pak Stevie menempati sofa di seberangku. Ada meja kecil yang membatasi, tapi rasanya jarak itu terlalu jauh. Aku tidak bisa mengelak lagi. Tadi pagi, dia meminta kesempatan kepadaku. Aku menyetujuinya dengan memberikan anggukan di hadapannya. Kesempatan itu tidak hanya untuknya. Setelah berpikir jernih, aku juga membutuhkan kesempatan ini. Agar bisa mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, sehingga aku bisa membuat keputusan yang jauh lebih baik.
Entah kembali kepadanya atau terpaksa mengakui bahwa hubungan ini sebaiknya disudahi.
“Aku enggak tahu harus mulai dari mana.” Pak Stevie membuka suara.
Aku juga tidak tahu. Masalah ini saling tumpang tindih. Begitu kusut sampai-sampai aku tidak menemukan di mana ujung yang tepat untuk mengurainya.
“Kamu kembali ke perusahaanmu?”
Pak Stevie menggeleng. “Aku baru saja menjual saham bagianku, dengan begitu Stephanie akan jadi pemilik saham mayoritas. Dia yang berhak atas jabatan itu, bukan aku.”
Aku tidak tahu apakah aku lega mendengarnya atau tidak.
“Aku sudah ngajuin surat resign, aku minta maaf karena melakukannya di belakangmu. Tolong percaya karena aku lakuin ini karena kamu,” lanjutnya.
Penuturannya membuatku tertegun. Ternyata hal itu bukan rumor belaka. Aku hanya bisa membisu, menatap Pak Stevie untuk memberikan penjelasan lebih lanjut.
“Dibanding aku, posisimu jauh lebih enggak menguntungkan. Kamu yang dituding hanya karena kita pacaran. Sementara orang-orang itu bermulut manis di depanku. Aku enggak bisa terima, tapi protesku diabaikan. Aku rasa kehadiranku membuatmu makin tersudut. Karena itu, aku putusin untuk keluar,” jelasnya.
Ternyata Pak Stevie juga merasakan hal sama. Kantor yang selama ini membuatku berani bermimpi, juga membuatku menetapkan rencana hidup, kini tak lagi menjadi tempat yang berarti untukku.
“Sebelum Papa meninggal, aku sudah mengambil keputusan ini. Begitu proyek kita selesai, aku mundur. Aku belum tahu setelah itu harus ngapain, tapi setidaknya aku keluar dari sana.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Pak!
ChickLitNina Alexandra Fresh Graduate yang baru mulai menapak karier. Selalu tertarik pada laki-laki yang lebih tua sehingga dijuluki mengalami Daddy's Issue. Diam-diam tertarik pada atasannya, dan menjalani hubungan tanpa masa depan. Stevie Andika Kawilara...